Tapi sekarang, yang tersisa hanyalah bayang-bayang masa lalu. Alina melanjutkan langkahnya ke dapur, menyeduh teh hangat seperti biasa. Suara air mendidih, gemericik perlahan ketika dituangkan ke dalam cangkir porselen yang ia simpan dengan hati-hati—cangkir yang sama dengan yang dulu digunakan Niskala. Setiap tegukan teh terasa getir, bukan karena rasanya, tapi karena kenangan yang selalu mengiringinya. Ia masih bisa mendengar suara tawa Niskala dari sudut ruangan, meski tahu itu hanya gema ingatan yang tak lagi nyata.
Pagi itu seharusnya menjadi awal yang baru, tetapi bagi Alina, setiap pagi adalah pengulangan dari hari sebelumnya. Matahari mungkin terbit, tapi hatinya tetap di malam yang abadi, terjebak dalam lingkaran rindu yang tak terjawab. Sesekali, ia berharap bisa memutar waktu, kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana Niskala masih berada di rumah, mengisi setiap ruang dengan kehadirannya yang hidup.
Selesai sarapan, Alina melangkah keluar, ke pelataran rumah yang selalu setia menunggu bersamanya. Udara pagi segar, tetapi ada rasa kosong yang menggantung di angkasa. Jalanan di depan rumahnya masih sunyi, tak ada suara langkah kaki, tak ada tawa riang yang dulu sering menghiasi pagi-pagi mereka. Alina mendesah pelan, matanya kembali menatap ke arah jauh, ke jalan setapak yang entah kapan terakhir kali dilalui Niskala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam
Short Story"Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam" adalah kisah penuh keheningan dan kerinduan yang mendalam antara seorang ibu dan anak perempuannya. Alina, seorang ibu yang penuh cinta, hidup dalam kesendirian setelah anaknya, Niskala, pergi merantau ke neg...