Alina menutup pintu rumah dengan lembut, membiarkan keheningan malam terus berdiam di pelataran yang kini kosong. Di dalam rumah, suasana tak jauh berbeda—dinding yang bisu, foto-foto yang tergantung di tembok sebagai saksi masa-masa penuh tawa, dan perabotan yang usianya sama tuanya dengan kenangan di kepala Alina.
Langkahnya ringan, meski beban di hatinya terasa begitu berat. Setiap sudut rumah ini menyimpan jejak Niskala. Dari ruang tamu hingga kamar tidurnya, semuanya mengingatkan Alina pada sosok yang kini hanya bisa hadir melalui ingatan. Di atas meja, sebuah cangkir porselen berdiri kosong, bekas Niskala yang dulu sering menyeduh teh sore. Seperti kebiasaannya, Alina selalu menyimpan cangkir itu di tempat yang sama—tak tersentuh, seolah-olah Niskala akan kembali suatu hari dan menggunakannya lagi.
Alina menghampiri meja itu, menyentuh cangkir dengan jemarinya yang mulai menua. Matanya terpejam sesaat, membiarkan kenangan membawanya kembali ke masa lalu. Dia masih ingat dengan jelas, setiap detail wajah Niskala ketika pertama kali mengutarakan keinginannya untuk merantau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam
Short Story"Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam" adalah kisah penuh keheningan dan kerinduan yang mendalam antara seorang ibu dan anak perempuannya. Alina, seorang ibu yang penuh cinta, hidup dalam kesendirian setelah anaknya, Niskala, pergi merantau ke neg...