Chapter 2.5: Bayang-Bayang yang Tak Kembali

2 1 0
                                    

Pagi itu, ketika matahari belum sepenuhnya terbit, Alina terbangun dari tidurnya di bawah pohon besar. Embun pagi menetes lembut di dedaunan, membawa aroma tanah basah yang segar. Ia mengusap matanya yang masih berat, menyadari bahwa malam telah berlalu begitu saja tanpa bulan yang menemani. Langit di ufuk timur mulai memerah, memberi pertanda bahwa hari baru akan segera tiba.

Namun, bagi Alina, hari-hari baru terasa seperti pengulangan dari yang lama. Pagi yang datang tak lebih dari cerminan malam yang pergi, dan di setiap pergantian waktu, hanya rindu yang semakin menumpuk, mengisi ruang-ruang kosong di hatinya. Ia kembali masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan, meninggalkan pohon tua yang masih berdiri kokoh, diam, dan sepi—seperti dirinya.

Dapur rumahnya sederhana, dengan panci-panci yang tergantung di dinding dan meja kayu yang mulai lapuk dimakan usia. Alina duduk di meja itu, mengaduk teh hangat yang ia buat tanpa semangat. Pikirannya melayang pada satu sosok yang selalu hadir di setiap sudut rumah ini—Niskala.

Bulan yang Menunggu di Pelataran MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang