Prolog

22 4 0
                                    

Malam itu, seperti malam-malam yang telah berlalu, Alina duduk sendiri di pelataran rumah. Angin berhembus lembut, membawa bisikan-bisikan dari masa lalu yang pernah hangat namun kini hanya menyisakan dingin. Di atas langit, bulan purnama menggantung rendah, sinarnya menyentuh wajahnya yang mulai ditelan usia. Bulan selalu datang, menjadi teman setia di setiap kesunyian, menemani penantian yang tak pernah tahu akhir.

Sudah berapa lama sejak Niskala pergi? Alina tak lagi menghitung hari. Waktu bagi seorang ibu yang ditinggalkan tak lagi bergerak dalam hitungan detik atau menit, melainkan dalam denyut-denyut rindu yang tak pernah terhenti. Setiap detik terasa seperti tahun-tahun panjang, setiap malam menjelma menjadi lautan sunyi yang semakin dalam, menenggelamkan Alina dalam keheningan yang tak terpecahkan.

Di kejauhan, kota yang sempat ramai kini hanya bayang-bayang, dan Alina hanya punya bulan sebagai saksi tunggal kerinduannya. Setiap malam, ia akan menatap langit, berharap ada keajaiban yang membawa Niskala kembali ke rumah ini. Mungkin esok, atau mungkin suatu malam yang tak terduga, Niskala akan muncul di pelataran ini, menghapus segala rindu yang tertanam di hatinya.

Namun malam-malam terus berlalu, dan hanya bulan yang tetap ada, seolah berjanji akan selalu kembali di tempat yang sama—di pelataran malam yang menunggu.

Bulan yang Menunggu di Pelataran MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang