Alina berdiri dari kursinya, perlahan melangkah ke ujung pelataran. Matanya tertuju pada jalan setapak yang membentang di depan rumah, jalan yang dulu sering dilalui Niskala ketika pulang sekolah, penuh dengan tawa dan cerita tentang harinya. Sekarang jalan itu sunyi, hanya diterangi remang cahaya lampu jalan yang tampak semakin redup.
Ada rasa kosong yang menggantung di hatinya. Setiap langkah di pelataran ini membawa kenangan yang semakin menyesakkan dada. Rindu yang ia rasakan tak hanya tentang kepergian Niskala secara fisik, tetapi tentang kehadiran yang tak lagi bisa disentuh—kehadiran yang dulu selalu menyemarakkan rumah ini.
Sesekali, Alina merasa hampir bisa mendengar suara langkah kaki Niskala mendekat. Di tengah sunyi malam, kadang-kadang ia membayangkan suara pintu yang diketuk, membayangkan Niskala kembali dengan senyuman dan pelukan hangat seperti dulu. Tapi saat kenyataan kembali menyapa, hanya hening yang tersisa.
"Apakah aku terlalu berharap, Nak?" bisik Alina kepada dirinya sendiri.
"Apakah penantian ini akan berarti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam
Short Story"Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam" adalah kisah penuh keheningan dan kerinduan yang mendalam antara seorang ibu dan anak perempuannya. Alina, seorang ibu yang penuh cinta, hidup dalam kesendirian setelah anaknya, Niskala, pergi merantau ke neg...