Hari-hari ini terlewat begitu cepat, Alina tak lagi berharap pada telepon atau pesan. Yang ia miliki hanyalah malam, yang setia datang setelah senja. Seperti seorang sahabat yang tak pernah meninggalkannya, bulan hadir di langit, membawakan seberkas cahaya ke dalam hatinya yang sepi. Di bawah cahaya itulah, Alina menghitung rindu—rindu yang seolah tak berujung.
Senja telah sepenuhnya tenggelam. Kini, malam adalah miliknya, waktu yang dihabiskannya bersama bulan dan kenangan-kenangan tentang Niskala. Seperti malam-malam sebelumnya, ia akan duduk di sana sampai matanya lelah menatap langit.
"Bulan," gumamnya pelan, "hanya engkau yang tahu. Hanya engkau yang mengerti."
Malam semakin larut, tapi Alina tetap tak beranjak dari kursi kayu di pelataran. Tangannya menggenggam erat syal yang melingkar di lehernya—syal yang dulu diberikan Niskala sebelum pergi. Setiap helainya seakan masih menyimpan aroma tubuh Niskala, meski itu hanyalah bayangan yang diciptakan oleh kerinduan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam
Historia Corta"Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam" adalah kisah penuh keheningan dan kerinduan yang mendalam antara seorang ibu dan anak perempuannya. Alina, seorang ibu yang penuh cinta, hidup dalam kesendirian setelah anaknya, Niskala, pergi merantau ke neg...