Ia berdiri perlahan, tubuhnya bergerak lamban seakan lelah oleh waktu yang terus berjalan tanpa memberi jawaban. Setiap langkah terasa lebih berat saat ia mendekati pagar rumah, tempat di mana ia sering menunggu Niskala pulang dari sekolah dulu. Pintu pagar itu kini tampak usang, catnya mengelupas, berderit setiap kali tertiup angin, seperti pantulan dari dirinya sendiri yang juga mulai termakan oleh waktu.
Di kejauhan, suara anak-anak kecil berlari di jalanan desa, membuatnya tersenyum samar. Masa kecil Niskala terlintas kembali di benaknya—saat mereka berdua biasa bermain bersama di halaman rumah ini, berkejaran di bawah naungan pohon besar di tepi jalan. Semua itu kini hanyalah kenangan yang terbingkai dalam waktu, tak mungkin direngkuh lagi.
Ia berhenti di tepi jalan kecil di depan rumah, memperhatikan sepintas desa yang masih sama tenangnya seperti dulu. Desa ini tak pernah berubah, tetapi Alina tahu bahwa di luar sana, dunia Niskala telah berubah begitu cepat, mungkin lebih cepat dari yang bisa ia bayangkan. Namun, meskipun jarak dan waktu memisahkan mereka, ada sesuatu yang tetap menghubungkannya: cinta yang tak pernah pudar.
Di tangannya, amplop putih itu masih terpegang erat. Ia tahu surat itu tak akan langsung menghapus rindu yang mendera setiap malam, tetapi menulisnya adalah bentuk harapan, dan dalam harapan itu ada kekuatan yang mampu membuatnya bertahan, meski hanya untuk sehari lagi. Amplop itu ia masukkan ke dalam tas kecilnya—ia akan pergi ke kota nanti untuk mengirimnya, meskipun alamat yang akan ia tulis di bagian depannya terasa asing, sebuah tempat yang tak pernah ia kunjungi, tetapi di situlah Niskala berada.
Dengan langkah yang ringan, Alina kembali ke pelataran rumah. Ia duduk di kursi kayu tua, sama seperti malam-malam sebelumnya, seolah tak pernah bosan dengan rutinitas ini. Matanya menatap langit yang mulai berganti warna, dari biru terang menuju oranye hangat, menandakan senja yang kembali menjelang. Di sinilah ia akan menunggu lagi, seperti malam-malam sebelumnya, di bawah sinar bulan yang tak pernah mengecewakannya.
"Bulan akan kembali lagi malam ini," gumam Alina, menyentuh pinggir kursi dengan tangan yang gemetar halus.Bulan, sahabat setianya, akan naik perlahan di langit, memberi cahaya yang tak pernah gagal menghibur hatinya yang sendirian. Seperti janjinya sendiri, bahwa cinta dan harapannya tak akan pernah padam. Dan meski Niskala tak segera pulang, di bawah bulan yang sama, ia tahu bahwa mereka berdua tetap terhubung—melalui jarak, waktu, dan perasaan yang tak pernah sirna.
Senja mulai meredup, dan saat malam benar-benar tiba, Alina kembali duduk di pelataran. Matanya menatap jauh ke angkasa, mencari bulan yang mulai muncul di ufuk timur, seperti selalu. Di malam yang penuh kerinduan ini, Alina berbisik pelan, sebuah doa yang terbang bersama angin malam.
"Niskala... pulanglah kapanpun kau siap. Ibu akan selalu menunggumu di sini."
Di pelataran malam itu, Alina, dengan segala kerinduannya, menanti di bawah cahaya bulan yang meredup perlahan. Penantiannya mungkin takkan berakhir dalam waktu dekat, tetapi ia tahu bahwa cinta yang ia miliki cukup kuat untuk mengatasi segalanya—bahkan jarak yang terbentang ribuan kilometer.
Bulan, saksi bisu dari cinta yang tak pernah luntur, terus menggantung di langit, seakan menemani Alina dalam penantian panjangnya. Malam kembali menelan dunia, dan Alina sekali lagi terjaga dalam kesunyian. Namun, dalam hatinya, ada secercah harapan yang tak pernah padam, menunggu saat di mana Niskala akan kembali ke pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam
Kurzgeschichten"Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam" adalah kisah penuh keheningan dan kerinduan yang mendalam antara seorang ibu dan anak perempuannya. Alina, seorang ibu yang penuh cinta, hidup dalam kesendirian setelah anaknya, Niskala, pergi merantau ke neg...