Niskala sering menelepon, dulu. Suaranya ceria, penuh cerita tentang kehidupan di negeri jauh. Alina akan mendengarkan dengan penuh antusias, meski di ujung pembicaraan, selalu ada rasa pahit yang tersisa.
"Kapan kamu pulang, Nak?"—pertanyaan yang hanya terjawab dengan tawa ringan dan janji-janji yang menggantung di udara.
Waktu terus berjalan, janji pulang yang dulu terdengar dekat kini semakin samar. Telepon pun tak lagi sering berdering. Kehidupan Niskala berubah, terbang jauh seperti burung yang akhirnya menemukan sarangnya sendiri.
Malam kini menjadi satu-satunya saat di mana Alina merasa dekat dengan Niskala. Bukan melalui suara di telepon, bukan melalui pesan singkat yang semakin jarang, tapi melalui bulan. Setiap kali Alina menatap langit malam, di bawah cahaya purnama yang penuh, ia merasa Niskala juga mungkin sedang memandang bulan yang sama dari tempat jauh di mana dia berada. Bulan menjadi satu-satunya jembatan antara keduanya, menghubungkan dua hati yang terpisah oleh lautan.
Alina menarik napas panjang, merasakan udara malam yang mulai dingin. Dia merapatkan syal di lehernya, tapi bukan dinginnya yang merisaukannya, melainkan rindu yang terus tumbuh di dalam dada.
"Apakah kamu juga merindukanku, Niskala?" bisiknya dalam hati. Namun, tak ada jawaban, hanya derik jangkrik yang memecah keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam
Nouvelles"Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam" adalah kisah penuh keheningan dan kerinduan yang mendalam antara seorang ibu dan anak perempuannya. Alina, seorang ibu yang penuh cinta, hidup dalam kesendirian setelah anaknya, Niskala, pergi merantau ke neg...