Bayangan itu seolah berbicara kepadanya, menggambarkan sosok yang telah lama hilang dari kehidupan ramai. Alina merasa menjadi bagian dari dunia yang hening, terpisah dari semua hiruk pikuk yang pernah ia kenal. Kini hanya ada dirinya, rumah ini, dan bulan yang selalu kembali.
Perlahan-lahan, ia membuka pintu jendela, membiarkan udara malam masuk lebih leluasa. Napasnya terasa berat, tapi ada kelegaan dalam keheningan yang menyelimuti. Di tengah kesunyian itu, Alina kembali teringat kata-kata Niskala sebelum ia berangkat ke negeri jauh.
"Ibu, aku pasti akan pulang," katanya. Janji itu sederhana, tapi penuh makna. Niskala tak pernah mengatakan kapan, tapi ia meyakinkan Alina bahwa suatu hari nanti, dia akan kembali. Namun, semakin lama, janji itu seperti dihempaskan angin malam yang terus berhembus—menjauh dan semakin kabur.
Alina menyadari bahwa di antara semua penantian yang ia lalui, ada satu hal yang tak pernah ia katakan, bahkan pada dirinya sendiri: mungkin, Niskala takkan pernah pulang. Mungkin, kehidupan baru yang ditemukan anaknya di luar sana telah membentuk jalan yang berbeda, jalan yang tak lagi mengarah pulang. Pikiran itu menyakitkan, seperti duri yang perlahan-lahan menancap di hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam
Cerita Pendek"Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam" adalah kisah penuh keheningan dan kerinduan yang mendalam antara seorang ibu dan anak perempuannya. Alina, seorang ibu yang penuh cinta, hidup dalam kesendirian setelah anaknya, Niskala, pergi merantau ke neg...