"Apa kau masih ingat, Niskala?" Alina mengajukan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. "Apa kau masih ingat rumah ini? Tempat kita duduk bersama, berbagi cerita di bawah bintang-bintang?"
Kenangan itu datang bergelombang, tak bisa dibendung. Alina mengingat Niskala kecil yang selalu berlari ke arahnya sepulang sekolah, membawa buku catatan dengan gambar-gambar impian yang ia rajut—impian untuk pergi jauh, untuk melihat dunia. Alina, meski penuh cinta, selalu tahu bahwa suatu hari Niskala akan pergi. Tapi ia tak pernah membayangkan bahwa kepergian itu akan meninggalkan jejak yang begitu dalam.
Niskala selalu bersemangat, penuh energi. Di matanya, dunia adalah tempat yang harus dijelajahi, bukan ditinggalkan untuk berdiam di satu tempat. Alina bangga pada putrinya, pada impiannya yang besar. Namun, dalam kebanggaan itu, ada perasaan yang kini menyiksa—rasa kehilangan yang tak kunjung surut.
Tiba-tiba, Alina berdiri dan berjalan kembali ke dalam rumah. Tangannya meraih sebuah kotak kayu tua di atas lemari. Kotak itu penuh dengan kenangan Niskala—surat-surat, gambar, dan foto-foto lama. Alina membuka kotak itu perlahan, dan di dalamnya, selembar surat tertinggal di antara tumpukan yang lain. Surat itu, tulisan tangan Niskala, yang pernah ia kirimkan bertahun-tahun lalu dari negeri seberang.
"Ibu, aku akan segera pulang. Aku rindu padamu dan pada rumah kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam
Conto"Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam" adalah kisah penuh keheningan dan kerinduan yang mendalam antara seorang ibu dan anak perempuannya. Alina, seorang ibu yang penuh cinta, hidup dalam kesendirian setelah anaknya, Niskala, pergi merantau ke neg...