Chapter 2.17: Bayang-Bayang yang Tak Kembali

3 0 0
                                    

Sambil memeluk lututnya di kursi tua itu, Alina memikirkan tentang kehidupan Niskala di negeri yang jauh. Apakah putrinya bahagia? Apakah ia sudah menemukan kedamaian di sana? Atau, seperti dirinya, Niskala juga terjebak dalam kekosongan, meski dikelilingi oleh kesibukan dan kemewahan?

Alina mengingat pesan terakhir yang ia terima dari Niskala beberapa bulan lalu. Pesan itu singkat dan formal, seperti pesan yang dikirim oleh seseorang yang terlalu sibuk untuk benar-benar menyapa. "Aku baik-baik saja, Bu. Semoga Ibu sehat selalu."

Tidak ada tanda-tanda kerinduan di dalamnya. Tidak ada janji untuk pulang. Hanya kata-kata sederhana yang terasa seperti formalitas. Alina menyimpan pesan itu dalam hatinya, meskipun terasa dingin. Ia tahu, mungkin Niskala berusaha menjaga jarak, mencoba menyesuaikan dirinya dengan kehidupan barunya yang jauh dari rumah.

Alina menghela napas panjang. Dia berusaha menerima kenyataan itu, meskipun hatinya menolak. Dia selalu berharap Niskala akan kembali—bukan hanya fisik, tetapi juga secara emosional. Karena baginya, yang lebih menyakitkan daripada jarak ribuan kilometer adalah jarak hati yang tak terjembatani.

Dalam keheningan malam itu, Alina mendongak kembali ke langit. Awan mulai tersingkap, dan bulan kembali menampakkan diri, redup namun tetap bersinar. Cahaya bulan itu seolah mengirimkan pesan bahwa meski semuanya tampak suram, selalu ada sedikit harapan yang bisa digenggam.

"Suatu hari nanti," bisik Alina pada dirinya sendiri. "Niskala akan menemukan jalannya pulang, bukan hanya ke rumah ini, tapi ke hati ibu."

Bulan yang Menunggu di Pelataran MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang