(Privat acak, follow sebelum baca)
Tidak ada tempat ternyaman untuk Haima kecuali rumah Akandra, sahabatnya.
Rumah warisan yang Akandra tinggali seorang diri ini sudah seperti rumah milik Haima juga. Sejak direnovasi tujuh tahun lalu, gadis itu tida...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ Haima berdiri saat melihat Asen keluar dari ruang meeting, tersenyum lembut menyambut Asen.
"Maaf, apa terlalu lama?" tanya Asen seraya meraih tangan Haima.
Haima menggeleng. "Cuma 20 menit."
Asen mendesah sesal. "Maaf ya, aku pikir meeting-nya bakalan cepat. Kalau tau gini, lebih baik kamu pulang dulu dan tunggu di rumah."
"It's oke. Ayo antar aku pulang, sebelum semakin lama."
Asen mengangguk, menggandeng Haima untuk turun ke basement dan menuju mobil Asen. Malam ini Asen akan mengajak Haima untuk makan malam bersama keluarganya, sudah sering Haima bertemu keluarga besarnya, karena saat ini hubungan mereka sudah hampir satu tahun.
Asen benar-benar serius kepada Haima, berkali-kali menanyakan kesiapan Haima untuk menikah, tapi Haima terus mengulurnya dan mengatakan belum siap, entah apa alasan sesungguhnya. Tapi di sisi lain, Asen akan sabar terus menunggu Haima walau Haima terlihat tidak bisa melupakan masa lalunya.
"Baju yang ini atau ini?" tanya Haima setelah selesai mandi dan menunjukkan dua baju yang sudah dia siapkan sejak tadi pagi.
"Kanan, look sweet."
Haima mengangguk dan segera kembali ke kamar mandi untuk memakai baju. Tidak butuh waktu lama sampai Haima siap dan mereka pergi ke rumah Asen.
"Haima," panggil Asen membuat Haima menoleh.
Asen terlihat terlihat lelah tapi tidak menutup ketampanannya ditambah dengan sedikit cahaya jalanan yang menyorot wajahnya.
"Boleh aku tanya lagi kesiapan kamu tentang menikah?" tanya Asen pelan, tidak ingin menyinggung perasaan Haima.
"Aka— Imean, Asen, aku ..."
Asen tersenyum kecil, sudah sering sekali Haima salah menyebut namanya. Walau tidak tau siapa itu Akan, tapi Asen dapat menebak jika itu adalah orang yang sedang Haima lupakan.
"It's oke, aku nggak memaksa." Asen memotong lalu mengusap lengan Haima agar nyaman.
"Aku mau," kata Haima membuat Asen seketika menoleh.
"Lihat jalan, Asen!" seru Haima membuat Asen seketika sadar dan kembali melihat jalanan.
Haima mengebuskan napas pelan. "Ibuku sakit, Asen. Diah berkali-kali menelepon dan menyuruhku untuk pulang. Tapi aku nggak bisa. Turki udah jadi bagian dari hidupku yang baru, dan kamu ..."
Haima berhenti sejenak menatap Asen yang tampak sedikit tegang di balik kemudi. "... Aku belum yakin tentang apa yang aku rasa buat kamu. Dan aku pikir, rasanya nggak adil kalau kamu nggak dapat sepeti apa yang kamu kasih ke aku. Cinta."
Asen menoleh sekilas.
"Aku juga tau, nggak adil buat kamu untuk terus menerus menunggu. Bukankah lebih baik begini dari pada kita menikah tapi akhirnya aku ngga bisa cinta sama kamu." Haima menunduk sedih.