Pengkhianatan IV

13 6 11
                                    

Sudah seminggu semenjak kami kedatangan anggota keluarga baru di rumah ini. Aku melihat tingkah Om Ridho masih normal saja. Tidak ada pemukulan atau kekerasan fisik lain, juga tidak ada makian atau bentakan yang keluar dari mulutnya. Ibu sudah berhenti dari pekerjaannya, dan keuangan sepenuhnya ditanggung suami baru Ibu. Lelaki itu cukup baik, tapi aku masih belum bisa menerima dia sepenuhnya, ada rasa penolakan kuat yang berasal dari dalam pikiranku. Pengalaman bersama Bapak sangat mempengaruhi persepsiku terhadap lelaki pilihan Ibu.

Aku saling bertatapan dengan Om Ridho dari kejauhan. Mata kami bertemu dan bertahan dalam beberapa detik. Situasi macam apa ini?! Aku buru-buru masuk kembali ke dalam kamar.

Kulihat ke arah jam dinding di kamarku, pukul satu dini hari. Aku keluar kamar berniat minum dan mencari beberapa cemilan. Sebenarnya aku sudah tidur lelap sejak sekitar jam sembilan malam, namun aku dibangunkan oleh mimpi-mimpi buruk tentang kekerasan yang Bapak lakukan padaku dulu. Mimpi-mimpi itu sering muncul seiringan dengan kedatangan 'Bapak' baruku.

Saat aku hendak mengambil minum di meja makan, baru saja keluar kamar, aku mendengarkan desahan wanita dari ruang makan. Perlahan aku melangkah ke sumber suara, dan melanjutkan niatku juga untuk mengambil minum. Antara terkejut dan gugup aku menyaksikan Ibu dan suaminya sedang bercumbu di ruang makan itu. Ibu di atas meja, membelakangi tempatku berdiri, dan suami barunya berdiri tepat di depan Ibu, di antara kedua pahanya yang terbuka lebar.

Mataku terpaku sejenak, lalu kemudian mencari di atas meja yang diduduki Ibu. Botol air berada tidak jauh dari Ibu, air di dalamnya berguncang seirama dengan gerakan Om Ridho. Suara Ibu terdengar manja dan merayu, ia menggelayutkan tangannya ke pundak suaminya, dan mata lelaki itu ternyata menatap ke arahku. Matanya redup namun mendominasi dalam waktu yang bersamaan, ia melihatku tanpa menghentikan kegiatannya bersama Ibu.

Rasa hausku seketika hilang, dan kuputuskan untuk segera kembali ke kamar. Pasangan tidak tahu malu! Bisa-bisa melakukan hal seperti itu di ruang bersama?! Aku sudah berbaring kembali di atas kasurku, tapi detak jantungku masih sangat cepat, ujung-ujung jariku bergetar menyesuaikan dengan degupannya.

Kututup mataku, dan dalam kegelapannya tergambar kembali kejadian yang baru saja kusaksikan. Kembali kubuka mata, terlihat langit-langit kamarku yang setiap hari kupandangi sebelum terlelap, bayangan kejadian memalukan itu menghilang. Kucoba menutup mataku lagi, seketika adegan vulgar itu terputar kembali. Kali ini, kubuka mataku, dan tidak berniat kututup lagi. Akan kupandang langit-langit itu sampai mataku tertutup sendiri.

***

"Kamu suka es teler?" tanya Om Ridho padaku. Wajahnya sangat dekat, berjarak sekitar sejengkal saja dari puncak hidungku.

Kedua tanganku memegangi pinggiran meja yang kududuki. Bola mataku mengitari ruangan, ini ruang makan, dan aku sedang duduk di atas meja makan. Aku melihat ke arah Om Ridho, tangannya memegangi segelas es teler, persis seperti es yang dipesankannya di pertemuan perdana kami.

Lelaki itu kemudian menoleh ke kanan, dan menyeruput es di tangannya tepat di hadapanku. Jakunnya sangat jelas naik-turun seirama dengan air es yang ditelannya. Lalu ia menjauhkan gelas es tersebut dari mulutnya, dan kembali menatapku, "Manis," desisnya.

"Ah!" tiba-tiba paha kiriku terasa dingin. Saat kulirik ke pahaku, ternyata si lelaki tengah menumpahkan isi gelas yang dipegangnya ke atas pahaku.

"Kamu suka 'kan?" bisiknya di telinga kiriku sambil terus menuangkan es teler itu hingga titik penghabisan.

Situasi seperti apa yang sedang kuhadapi ini? Aku seperti mengingat, lelaki ini harusnya tidak begitu padaku. Ada hal dari pria ini yang tidak boleh kubersamai. Tapi di sisi hatiku yang lain, aku cukup menikmatinya. Perlakuannya lembut, ucapannya manis, tangannya yang menyentuh kulitku terasa nyaman sekaligus menggelitik.

Saat tangannya menyentuh langsung kulitku, ada sensasi setruman ringan. Sedikit mengagetkan, membuat geli, dan hangat sekaligus. Sensor taktilku seperti jauh lebih sensitif dari sebelum-sebelumnya. Cara tangannya menari di seluruh tubuhku, semua dapat kurasakan dengan jelas. Terasa candu, setelah satu sentuhan aku menuntut sentuhan yang lain.

Semua permulaan dia lakukan dengan baik dan menyenangkan. Lelaki ini sangat lembut, sangat tahu apa yang kuinginkan, dan apa yang membuatku menyukainya. Hingga akhirnya dia melakukan penyatuan yang indah dan manis denganku. Kunikmati tiap gerakan kecil yang ia berikan, hingga gelombang puncak kenikmatan itu menghampiriku mulai dari titik pusat tubuhku, dan menjalar sampai ke ujung-ujung jemariku. Badanku serasa ringan, melayang, dan di sekitarku seperti dikitari angin-angin sepoi yang menyejukkan. Ah, ternyata begini yang dirasakan Ibu saat melakukannya bersama suami barunya ini.

Ibu? Aku tiba-tiba teringat, lelaki ini sungguh suami Ibu. Dan dia benar-benar Ayah tiriku. Apa aku gila?! Aku melakukannya bersama pria milik Ibu?

Sejurus kemudian sosok lelaki yang kupanggil Om Ridho itu lenyap, seperti bunga ilalang kering yang dihembus angin kencang. Aku melihat sekeliling, semua hitam dan gelap. Tiba-tiba sepasang tangan menyembul dari kegelapan, memegangi bahuku, dan mengguncangnya.

"Magi," disusul suara yang memanggil namaku.

"Magi," menggema dalam ruang kosong dan gelap ini.

Aku terpatung. Apa yang harus kulakukan?

"Bangun, nak. Udah pagi," ujar suara itu lagi. Gemanya menghilang, suara itu pun terdengar lebih jelas, itu suara Ibu.

Kubuka mataku, dan kudapati Ibu memegangi bahuku. Ia duduk di pinggir ranjang, hidungku menangkap aroma sampo darinya, rambutnya yang disanggul terlihat basah seperti baru keramas.

"Yuk, beberes. Katanya ada kegiatan di sekolah," ujarnya, kemudian bangkit dari kasurku.

Aku memposisikan diri untuk duduk, dan terdiam. Setelah kucerna semua yang baru saja kualami, ternyata aku bermimpi. Bermimpi, setelah melihat adegan tak senonoh Ibu dan Om Ridho di ruang makan.

"Ugh," tiba-tiba aku mual. Meja itu, akan tetap dipakai untuk meja makan?!

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang