Terlalu Palsu untuk jadi Nyata

2 1 0
                                    


"Sudah hubungi Pak Hendri?" tanya Fira sambil telungkup di atas kasurku.

Dari bangku meja belajar, aku menoleh menghadap gadis penguasa kamarku itu. "Belum," jawabku, "Sebentar lagi," imbuhku singkat.

"Jangan lama-lama. Ntar malah kelupaan, terus makin lama lagi kelar skripsimu," cecar Fira sambil bangkit dari kasur, dan duduk di pinggir ranjang. "Mau aku yang hubungi?" tanyanya menawarkan bantuan.

Aku langsung membuka kunci layar ponselku, dan mencari nomor Pak Hendri di sana. Kutarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa semangat hari ini, lalu menekan tombol 'panggil'.

"Bisa sendiri? Aku yang ngomong juga boleh, kok," ujar Fira di sela-sela bunyi 'tut' dari ponsel yang menempel di telingaku.

Aku menggeleng sambil tetap fokus pada bunyi ponsel. Jangan sampai aku melewatkan detakan tanda panggilan diterima. Bunyi dengung panjang masih terus terdengar, aku menunggu sambil mengatur napasku yang sedikit sesak.

Mataku dan Fira bertemu, disusul suara operator wanita yang tidak begitu kusimak. Intinya panggilanku tidak dijawab si bandot, dan aku tidak tahu harus bagaimana. Kujauhkan ponselku dari telinga, dan menekan tombol 'tutup' untuk menghentikan cerocosan panjang dari operator.

"Telepon lagi aja. Mana tahu kali ini diangkat," saran Fira.

Sebenarnya aku tidak mau melakukannya, karena kurasa hasilnya akan sama saja. Namun, karena seperti sudah prosedur wajib, bila satu kali panggilan tidak terangkat, kita boleh mencoba menghubungi sekali lagi, maka kulakukan.

Bunyi dengungan panjang yang membosankan itu kembali terdengar. Aku mendengarkan, sambil melihat ke arah Fira. Ia juga sedang menatapku dengan binar penuh harap. Ini dosen pembimbingku, dan ini juga tentang skripsiku, apa pedulinya?

Dan pada akhirnya teleponku tidak diangkat oleh si dosen mesum. Aku meletakkan ponsel itu di atas meja, dan menghela napas panjang. Memang sudah nasibku, dipersulit oleh dosen pembimbing yang egois. Apa dia tidak berpikir, kalau skripsiku tidak selesai tepat waktu, maka akan memperpanjang masa studiku? Dengan kata lain, aku harus membayar SPP lagi, dan uang orangtuaku tidak sebanyak itu. Ah, apa ini teknik marketing di lingkungan kampus? Apa dengan begini, si dosen bisa dapat komisi?

"Kirim pesan aja coba, Gi," ujar Fira membuyarkan pikiranku yang mulai kemana-mana.

Aku berkedip beberapa kali, melirik ponsel lalu menoleh ke Fira. Ia benar-benar berusaha membantuku? Bukannya dia yang tadi butuh bantuanku, sehingga harus ikut ke rumah?

"Mana tahu sekarang Pak Hendri ada kegiatan, makanya nggak bisa ngangkat telepon. Nanti pas udah luang, dia bisa baca pesan dari kamu," tambah Fira kemudian.

Tanpa menunda waktu lagi, kuraih kembali ponselku dan mulai mengetik pesan singkat kepada lelaki tim marketing kampus itu. Kuketik pesan lengkap dengan salam pembuka, kata-kata ramah-tamah permulaan, menyebutkan inti permasalahan tentang proposal skripsiku yang tinggal menunggu persetujuan darinya saja, dan diakhiri dengan penutup yang penuh kesopanan dan merendahkan diri. Begitu 'kan, kalau mengirim pesan pada orang yang derajat sosialnya lebih tinggi?

"Sudah?" tanya Fira setelah melihat aku meletakkan kembali ponselku.

Aku mengangguk. "Jadi apa yang kamu butuhkan?" tanyaku akhirnya. Setiba di rumahku, si siluman ulat bulu ini hanya mengacak-acak sprei kasur, lalu ikut mengurusi permasalahan konsulku dengan Pak Hendri.

Mendengar pertanyaan itu, wajah Fira seketika berubah serius, ia segera memposisikan badannya tegak dan mengumpulkan kedua tangan di pangkuannya. "Aku sebenarnya mau menceritakan sesuatu," ungkap Fira, sebagai pembukaan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang