Hunjam II

8 2 12
                                    


"Ooh. Gak pa-pa nih?" Hera memasang wajah ragu. Sepertinya dia tidak enak hati dengan Fira. Apa mungkin ini seperti Hera mengambilku dari circle pertemanan orang?

"Biasa saja," jawabku santai. Aku adalah diriku, dan hanya bersamaku. Aku tidak dalam geng manapun, dan tidak dalam circle siapapun. Untuk saat ini, aku mau mencoba membersamai Hera, yang aku yakini tertindas di kelompoknya.

"Wiih, Yanti kecolongan, nih!" seru Prita yang baru saja tiba. Yanti juga tiba hampir bersamaan dengan Prita, ia berdiri tepat di depan Prita, sepertinya memang Yanti duluan beberapa saat saja.

Aku melihat wajah Yanti yang menekuk. Ia menyusuri barisan yang kutandai dengan bibir manyun. "Apaan sih, Prit!" ia menoleh ke arah Prita sambil mengibaskan tasnya seolah hendak memukul si gadis berkacamata itu.

"Geser, aku mau di samping Hera," ujar Prita sambil menepis tas Yanti.

"Nggak, ih! Aku duluan!" seketika tas Yanti mendarat di bangku samping Hera.

Mereka berisik, padahal tinggal duduk saja, toh sudah kuberi tanda. Kuletakkan kepalaku ke atas meja, rasa benar-benar pusing. Perseteruan mereka masih berlanjut, tapi tak tercerna lagi oleh kepalaku. Badanku menempel di bumi, tentu, karena gravitasi. Tapi terasa mengudara, melayang-layang. Kututup mataku, tetapi bukannya mendingan, aku merasa semakin terbang berputar-putar. Ah, inikah yang disebut vertigo?

"Kamu nggak pa-pa, Gi," seseorang mengelus punggungku yang melengkung.

Kubuka mataku, itu Prita. "Gak pa-pa," jawabku singkat, biar mudah saja. Kalau Prita duduk disini, berarti Yanti beneran jadi duduk di sebelah Hera.

"Serius? Mau ditemenin ke klinik?" tanya Prita memastikan. Wajahnya terlihat tulus. Apa dia sudah menerimaku dalam gengnya?

"Sama aku aja juga boleh, kok!" imbuh seseorang dari sisi berlawanan. Tanpa menoleh aku cukup yakin itu suara Hera.

Kusembunyikan wajahku di antara lengan, menggeleng pelan, "Aku gak pa-pa," jawabku dengan suara terkurung. Tapi kurasa mereka mendengarnya. Cukup lama aku dalam posisi meringkuk, mulai dari sekelilingku yang terdengar riuh dengan segala percakapan yang tidak kuikuti, hingga kemudian menjadi hening. Apa dosen pengajar sudah masuk ruangan? Bukankah seharusnya kuangkat kepalaku untuk menyimaknya? Tapi mataku terlalu berat, tidak bisa kubuka sesuai kebutuhanku.

***

"Aku nggak bisa, Gi," ujar Ares dengan mata sedih.

Ku tatap dalam matanya, menyelami emosi yang dia tampilkan. Dia sedih? Kecewa? Menyesal? Ataukah ada emosi lain yang sulit terbaca?

"Besok adalah hari besar untukku. Dan berita ini nggak boleh ada," sambungnya lagi.

Alisku bertaut, banyak hal yang ingin kuungkapkan, namun yang keluar hanya helaan napas panjang dan berat.

"Aku dan Fira bukan orang lain lagi bagimu. Jadi aku sangat berharap kamu besok hadir ke pernikahan kami," ujar lelaki kurus itu lagi sembari mengangsurkan undangan pernikahannya.

Ku terima kertas bergambar bunga warna-warni dengan tangan kananku. Kuteliti dan kubaca perlahan, tertulis nama Fira dan Ares yang dihiasi gambar hati dengan tinta keemasan. Ini benar-benar undangan pernikahan mereka? Ares? Dengan Fira? Sejak kapan?

Sontak di dalam kepalaku terbayang kembali kejadian di kantin, saat mereka berdua makan dan ngobrol bersama, yang kemudian menjadi kikuk karena kedatanganku. Seperti tali kusut yang buhulnya seketika terlepas, menjadikan tali tersebut lurus dan merentang kembali, aku akhirnya menyadari bahwa yang membuat mereka bersikap gugup bukan karena mereka baru saja membicarakanku. Mereka dekat, sedang berkasih sayang, dan tidak seharusnya aku bergabung bersama mereka.

"Kita aman 'kan, Gi? Kita oke 'kan?" tanya Ares setelah melihat aku tak kunjung menanggapi ucapan maupun undangan darinya.

Dari undangan, kepalaku mendongak dan mataku beralih ke wajah Ares. Ia terlihat mengharapkan jawaban positif atas pertanyaannya barusan.

"Menurutmu kita bisa 'oke'?" aku balik bertanya. Pria ini sudah tidak waras!

"Aku tahu semua berat bagimu. Tapi aku yakin kamu bisa menemukan orang yang benar-benar tepat bagimu," Ares meraih kedua tanganku dan menyatukannya, kemudian menarik tautan tangan kami mendekati dadanya.

Benar-benar seenaknya! Apa perlu kutikam saja dia sekarang?

"Bergayut rindu di atas dahan," suara siapa itu?

"Cakeeepp," disusul sahutan keramaian.

"Terbanglah burung pergi ke Barat," kembali suara sebelumnya menyambung.

"Cakeeepp," sahut suara riuh lagi.

"Kata-kata tajam menghunjam," ujar suara pria itu lagi. Ah, itu suara dosen pengajar kuliah pagi ini. Sepertinya dia berpantun, apa untuk menutup kuliah? Sial, aku ketiduran!

Dalam suara ramai mahasiswa di kelas, ku tegakkan kepalaku dan menyapu wajahku yang sepanjang kuliah tertangkup di meja.

"Hati yang lemah terasa berat," si dosen menutup pantunnya, diiringi sorakan dan siulan pendengarnya.

Dia bilang 'hunjam'? Saat dalam mimpi hampir saja aku menikam sosok Ares, di kenyataan pria lain kemudian menyebut kata 'menghunjam'. Mereka bersinonim, 'kan? Mungkin ini yang dinamakan 'pertanda alam'.

*** 

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang