Bibirku merasakan sentuhan benda kenyal dan lembut. Sepenangkapan mataku, wajah Hera benar-benar tertempel, dan sepertinya ia mengecupku. Hanya kecupan ringan yang singkat, lalu ia segera memberi jarak.
"Boleh?" tanyanya sopan.
Aku berkedip, mungkin sekitar 2-3 kedipan mata, lalu perlahan mengangguk. Perasaanku yang sedang terbuai, kasmaran, membuatku tak lagi memikirkan tentang kekeliruan apapun.
Tanpa menunggu lagi, wajah Hera kembali mendekat. Aku bimbang, yang selanjutnya apa aku harus menutup mata atau membiarkannya terbuka. Beberapa cerita cinta mengatakan dengan menutup mata kita akan menikmati setiap sesapan tanpa distraksi. Namun beberapa drama romantis lainnya menggambarkannya dengan mata terbuka dapat meningkatkan pengalaman indah, pertemuan kedua pasang mata dengan yang terkasih dapat menguatkan gelombang-gelombang cinta yang terpancar.
"Ngelamun mulu, tukang bohong!" seru Hera tepat di depan hidungku.
Suara riuh kembali terdengar, badanku seakan terhisap melewati terowongan, dari dunia khalayan indahku, kembali ke kenyataan. Mataku berkedip-kedip cepat, mencoba mengakselerasi kesadaran terhadap keberadaanku di realitas.
Hera menarik tubuhnya kembali duduk ke bangku, wajahnya terlihat sedikit kesal. "Ya udah, kamu pulang aja. Nggak usah maksain gabung, pasti si introvert mulai kehabisan 'baterai sosial'-nya kan?" ujarnya seraya menyomot kentang goreng yang terhidang di depan kami.
Aku terdiam, melirik ke sekeliling. Mereka semua sudah dengan kesibukan masing-masing, hanya Fira yang masih sesekali melihat ke arahku.
"Ntar bareng aku, ya?" desis Fira, ia terlihat sedikit memelas.
Ku jawab dengan anggukan singkat, lalu kembali menikmati minumanku, menyesapnya hingga menyisakan es batu dan suara seruputan yang cukup keras. Kulirik Hera sesaat, ia terlihat pusing memandangi laman dokumen yang terbuka di layar laptopnya. Sesekali dipijitnya pangkal hidung dengan mata tak lepas dari layar bercahaya itu.
Hera... apa yang kupikirkan terhadap gadis itu?
***
"Tanyakan sama Pak Hendri, ya. Kalo saya sudah boleh ini," ujar Bu Afni sambil mengangsurkan bundel rancangan skripsiku yang sudah ditandatangani dan diberi tulisan 'ACC'.
Ku sambut kumpulan kertas itu sambil menganggukkan kepala, "Baik, Bu. Terimakasih banyak."
"Jadwal naik seminar juga nanti kamu konsultasikan sama beliau saja dulu. Nanti saya terakhir-terakhir aja, soalnya jadwal saya fleksibel kok. Gampang itu," tambah Bu Afni sambil memberikan senyuman manis.
Aku mengangguk dengan penuh kelegaan. Beliau benar-benar membebaskan sebagian bebanku. "Baik, Bu. Terimakasih banyak. Berarti saya izin pamit dulu, Bu," sahutku sesopan mungkin. Setelah kulihat anggukan tanda persetujuan darinya, aku pun berdiri dan keluar dari ruangan.
Sekarang aku hanya perlu memikirkan si dosen bandot. Apa aku langsung ke ruangannya saja? Ah, tadi Fira di luar menungguku. Apa dia masih disana?
"Gimana?" sambutan sigap dari siluman ulat bulu langsung menjawab pertanyaanku barusan. Ia segera menghampiriku begitu aku keluar gedung.
"Sudah di-ACC," jawabku. "Tapi aku harus temui Pak Hendri sekarang," imbuhku, semacam meminta pendapat Fira secara tersirat.
"Mau langsung konsul?" tanya Fira sambil mengiringi langkahku yang entah mau kemana.
Ku angkat kedua bahu, "Entahlah. Aku tidak yakin." Kakiku secara otomatis mengarahkan tubuhku menuju gedung dekanat, tempat ruangan Pak Hendri berada.
Aku dan Fira masih berjalan bersamping-sampingan. Tidak seperti biasa, si cerewet ini lebih banyak terdiam. Banyak pertanyaannya yang kujawab 'ya', 'tidak', atau 'entah', hanya direspon 'o' panjang darinya tanpa ada percakapan lanjutan. Pada dasarnya aku memang tidak terlalu komunikatif, pertanyaan dari lawan bicara seringkali menjadi buntu saat denganku. Tapi selama ini Fira tidak begitu, dia bisa saja memperpanjang segala topik pembicaraan bersamaku, meski pada akhirnya dialah yang proaktif dalam percakapan kami.
Maksudku, harusnya Fira bisa saja mencairkan suasana seperti biasa. Tetapi hari ini tidak, ia tidak seperti dirinya yang biasa. Seperti ada hal yang ingin ia sampaikan, tapi masih ditahan. Mungkinkah itu hal cukup berat untuk kupikul? Atau berat baginya untuk menyampaikan? Atau hanya karena belum mendapat momen yang tepat?
"Pak Hendri sedang tidak di tempat, Dik. Ada pesan?" ujar sekretarisnya begitu aku menyatakan hendak menemui pria paruh baya itu.
"Kemana beliau, kak?" tanyaku kemudian.
"Ke luar kota. Mungkin agak lama baru balik," jawabnya dengan ekspresi prihatin. Dia... prihatin padaku?
"Saya mau konsul skripsi dengan beliau, kak. Soalnya dosen pembimbing saya yang satunya sudah ACC," kataku sambil mengunjukkan bundelan kertas rancangan skripsiku padanya. Dari kalimatku, tersirat pertanyaan untuk nasib skripsiku ke depannya.
Sekretaris tersebut menerimanya dan memperhatikan halaman depannya yang sudah ada tandatangan Bu Afni. "Coba hubungi beliau saja, Dik. Mana tahu bisa konsul via e-mail. Soalnya kalo nungguin, bisa lama," sarannya seraya mengembalikan kertas berhargaku itu.
Aku menghela napas berat. Fira yang berdiri di belakangku berangsur mendekat, dan merangkul bahuku hangat. Segera kutepis perlahan tangannya, aku yakin aku sedang tidak butuh dukungan emosional. Aku biasa saja. Ini hal biasa.
"Baik, kak. Makasih banyak, ya," tutupku sambil sedikit membungkuk, lalu berbalik dan menjauh.
***
Angin kencang menghembus rambut pendekku bergerak ke depan dan ke belakang. Tanganku terulur di kedua sisi badan, berayun sesuai goncangan sepeda motor yang sedang dikendarai Fira. Kami dalam perjalanan pulang menuju rumahku. Seperti yang sebelumnya sudah dibicarakan di kantin, setelah aku mengatakan akan pulang setelah konsultasi skripsi, Fira minta ikut aku pulang ke rumah, katanya dia butuh bantuanku untuk suatu hal.
Isi kepalaku kosong, tidak ada satu pun tangkapan suara maupun pandangan yang kuproses di kepala. Semua hanya berlalu. Bahkan hembusan angin tidak begitu kumaknai. Rasanya semua yang terjadi sejak pagi berkumpul bak benang menggumpal, entah itu tentang Ares, Hera dan gengnya, skripsiku, Pak Hendri, segalanya. Mataku terbuka, namun tidak menangkap apa-apa, seolah di hadapanku gumpalan benang masalah itu menutupi segalanya, sehingga aku hanya bisa memandangi kekusutannya tanpa bisa berbuat apa-apa.
Mungkin Fira mengajakku berbicara, mungkin juga tidak. Suara-suara di sekitarku tidak terdengar jelas, semua seperti berdenging, sekedar berbunyi namun tak bermakna. Jasadku baik-baik saja, tidak ada rasa letih sedikit pun. Tapi jiwaku, pikiranku, jauh di dalam sana aku merasa jenuh dan kelelahan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, membentuk seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik, atau raga, menjadi hal yang kasat mata dan terlihat. Sedangkan psikis atau jiwa, ia tersimpan dan hanya dapat dirasakan dengan in...