Kewarasan, Kenormalan

13 6 13
                                    

Aku menggenggam sendok dan menatap piringku dengan ragu. Saat ini aku sedang duduk di kursi makan, di meja yang mereka jadikan properti tadi malam.

"Kenapa? Nggak mau nasi goreng?" tanya Ibu yang lalu-lalang membawakan makanan dari dapur ke ruang makan.

Aku menggeleng, tanpa mengeluarkan suara apapun. Adegan dini hari tadi, kembali terputar otomatis.

"Eh, Magi udah siap. Bukannya masih libur?" suami baru ibu baru bergabung di meja, ia mengambil posisi duduk berseberangan denganku.

Aku tidak berani melihat wajahnya. Aku menunduk, menatap piring makanku, dan mengumpulkan semua rasa laparku untuk menyuapnya ke dalam mulut. Ya, hanya rasa lapar yang bisa menghilangkan rasa jijik atas apa yang baru terjadi di meja ini.

"Katanya ada pertemuan dengan gurunya, soal perpisahan sekolah," Ibu membantuku menjawab, sambil meletakkan mangkuk berisi tempe goreng di samping piring makanku.

"Ooh, kebetulan. Om juga mau ke kantor. Mau ngurusin kontrak baru," ujar Om Ridho kemudian. Aku masih menunduk dan hanya melihat gerakan tangannya yang memulai sarapan.

Aku tidak butuh tebengan. Aku cuma ingin menjauh dari lelaki ini. Kejadian yang kusaksikan, dari mata kami yang bertemu, tentu ia tahu pasti kehadiranku ketika itu. Aku tidak ingin membahas apapun dengannya, apalagi tentang kegiatannya bersama Ibu semalam. Mereka pasangan yang sudah menikah, bahkan baru menikah, dengan usia yang masih sangat segar untuk melakukan hal itu dengan penuh gairah. Aku sebagai gadis puber cukup memahami mereka, hanya saja kegiatan itu dilakukan di ruangan milik bersama, dan aku juga haus disaat yang tidak tepat.

"Bagus itu. Ya sudah, kamu diantar Om aja ya, Gi," Ibu menyahuti tawaran tersirat dari Om Ridho.

"Aku bisa jalan kaki," tolakku. Ya, aku biasa ke sekolah berjalan kaki, selama tiga tahun ini. Tidak memberatkan, jaraknya tidak jauh juga.

Ibu berdiri di sampingku dan merangkul bahuku, "Bareng Om aja ya. Mana tahu, setelah kamu diantar Om, nanti pulangnya udah bisa manggil 'Ayah'," ujar Ibu sambil mengedipkan mata pada Om Ridho, terlihat lelaki itu membalasnya dengan senyuman geli.

Dan aku mau menghilang saja.

***

Hening, hanya suara radio mobil yang terdengar, saluran berita yang menyebutkan tentang kejadian penjambretan di daerah tepi kota.

"Sekarang kalo rasanya nggak perlu-perlu banget, mending nggak usah keluar malam," ujar Om Ridho sambil terus memegang setir dan melihat jalan.

Aku menoleh sejenak, lalu kembali melihat ke depan, "Iya," sahutku singkat. Aku tahu, tanggapan Om Ridho soal berita yang baru kami dengarkan bersama hanya untuk memecah keheningan saja.

"Belok kiri," ujarku tepat di persimpangan. Om Ridho tetap melaju, melewati persimpangan itu. Aku melihat ke arahnya, "Simpangnya kelewatan, Om," kali ini suaraku lebih keras.

"Hah? Oh, iya?!" ia terlihat panik sambil memperlambat laju mobil.

"Muter trotoar aja, Om," aku memberi solusi.

"Yah, tempat muternya 'kan jauh. Belokan kiri depan nggak bisa?" tanyanya sambil menunjuk ke persimpangan di depan.

"Itu gang buntu," jawabku asal. Padahal sejujurnya aku tidak tahu apakah gang itu bisa tembus atau tidak ke gang sebelumnya.

"Haduh. Ya sudah, kita muter aja ya," ujarnya lalu mempercepat laju mobil. "Nanti bilangin persimpangannya ya, Gi. Jangan sampe kita kelewatan lagi," imbuhnya.

Sudah kukatakan tadi, tapi diabaikan. Kucekik saja dia, bisa? Sampai detik ini, aku masih sangat ingin berjalan kaki saja. Mobil ini bukannya mempercepat, malah membuatku tambah lambat.

Kami sudah sekitar 5 menit yang lalu berangkat dari rumah. Dan selama itu pula aku dan lelaki ini hanya berdiam, berlagak khidmat mendengar radio sehingga lupa untuk mengobrol. Aku tahu, dia sebenarnya ingin membahas kejadian dini hari tadi. Entah itu mau meluruskan keadaan, atau hanya sekedar minta maaf. Aku bisa saja memulai perbicaraan tentang kejadian memalukan itu, tapi mimpiku yang jauh lebih memalukan menghentikan mulutku.

"Itu putaran trotoarnya," ujarku sambil menunjuk ke depan. Aku yakin suaraku cukup besar dari sebelumnya, tapi ia melewatkannya juga.

"Om!" pekikku kesal.

"Ah, kelewatan ya? Duh, maaf, Gi," ujarnya sambil terus mengemudikan mobilnya.

Apa maunya lelaki ini? Dia mau mengantarku ke sekolah, atau membawaku kemana? Kalau satu kali, aku bisa maklumi dan percaya bahwa itu tidak sengaja. Tapi kalau sudah berulang begini, aku yakin ini sudah ada maksud lain. Dia bisa saja terus berjalan lurus sampai ke pinggir kota yang sunyi, kawasan kejadian penjambretan yang tadi diberitakan di radio. Lurusan jalan ini mengarah ke perkebunan yang sedikit rumah warga, ada banyak gang-gang kecil yang mengarah masuk ke kebun yang tidak beraspal untuk jalur masuk kendaraan kebun.

"Sebentar ya, di putaran depan kita balik arah," ujarnya menenangkan.

Lokasi perkebunan yang kusebutkan tadi memang masih cukup jauh, sekitar 20 menit lagi berkendara. Tapi entah mengapa, pikiranku mengatakan lelaki ini akan terus melewatkan putaran trotoar sampai hanya tersisa jalan sejalur sampai perkebunan itu.

"Berhenti saja," pintaku.

"Gak pa-pa, Gi. Bentar ya, Om putar," ia tidak mengurangi laju mobilnya.

Ceklek! Kubuka kunci pintu mobil sisiku.

"Eh, jangan, Gi. Bentar ya, sabar," Om Ridho mengemudi dengan sebelah tangan kanan saja, sedangkan tangan kirinya mengisyaratkan aku untuk tenang.

"Pinggir di sini saja," aku tidak mengindahkan kata-katanya, seperti yang ia lakukan padaku.

"Sabar ya, Gi. Sabar," ujarnya lagi.

Aku pun akhirnya membuka pintu mobil dengan nekad.

"Magi! Oke, oke," dia panik. Dengan keadaan pintu mobil yang sudah terbuka itu, dia menepikan mobilnya dan mendadak menginjak rem.

Segera aku turun saat mobil benar-benar terhenti, "Terimakasih," ucapku lalu berjalan kembali. Kalau berjalan kaki, kita tidak perlu mencari putaran trotoar lagi 'kan? Dan yang terpenting, aku tidak perlu sampai ke perkebunan bersama pria Ibu.

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang