"Matamu saat itu, saya tahu kamu juga menginginkan hal yang sama," ujar lelaki itu lagi. Tangannya menjulur, aku mengerutkan badanku dan mundur sejauh mungkin. Rasanya aku ingin menyusut sampai menciut habis seperti ikan asin, kering dan kecil.
Bagaimana pun aku menghindar, tangan lebar Om Ridho mendarat juga di kepalaku, mengelusnya perlahan. Kepalaku tertunduk, badanku menekuk, sedikit kuputar posisi badanku hingga sedikit menghadap ke pintu.
"Aku mau pulang," pintaku dengan suara kecil, tercekat di tenggorokanku. Sepertinya lelaki ini benar-benar sudah membulatkan tekadnya untuk berbuat jahat padaku.
"Sebentar lagi, ya. Kita masih bisa santai sebentar," ujarnya dengan suara tenang, tangannya turun ke bahuku.
Bulu kudukku berdiri. Rasa geli, jijik, dan ngeri bercampur aduk. Mataku mencari di luar mobil. Apa yang harus kulakukan? Aku bisa saja keluar mobil, tapi setelahnya apa aku harus berlari?
"Bagaimana, Magi? Akan lebih indah kalau kamu menikmatinya," ujar Om Ridho lagi. Ia sudah sepenuhnya dibutakan oleh nafsu setan.
"Ini bukan hal yang normal," tanggapku dengan suara bergetar. Mataku mulai perih, sudutnya mulai berair. Walaupun begitu, aku tetap siaga mengawasi dan mencari setiap kesempatan.
"Nggak masalah, Gi. Terkadang dalam cinta, tidak ada yang namanya normal," jawabnya. Tangannya menggerayangi tengkukku.
"Kita harus berpikir waras," ujarku. Aku tidak tahu mau mulai menolak dari mana, sehingga kalimat itu keluar begitu saja. Sedikit melantur, tapi aku pastikan aku sadar penuh.
"Saya sangat waras, makanya saya menunggu persetujuanmu, Magi. Saya tahu kamu akan menyukainya," katanya mempertegas. Entah sejak kapan tangannya sudah di perutku, mulai menyingkap baju hingga pinggangku merasakan sentuhan langsungnya.
"Semalam kamu sudah menyaksikannya, sekarang kamu bisa merasakannya langsung," ujarnya lagi.
Tanganku sibuk menahan pergerakan lengan si lelaki gila ini, bola mataku liar mencari segala kesempatan yang ada. Hingga akhirnya tertangkap oleh lapangan pandangku seseorang yang sedang menoreh batang pohon karet berjarak tak jauh dari sisi kiri mobil. Dengan serampangan kubuka kunci pintu mobil dan segera membukanya dan keluar.
Tiba-tiba telingaku menjadi tuli, pelarianku seperti terjadi sangat cepat dan yang kudengar hanya suara dengungan bernada rendah. Mungkin suami Ibu yang mesum itu berteriak, mungkin juga tidak. Yang kutahu hanya berlari sekencangnya menghampiri orang asing itu. Seiring dengan berkurangnya jarakku dengan orang itu aku pun mengetahui ia seorang perempuan, nenek-nenek paruh baya, dan di dekatnya ternyata ada seorang laki-laki dewasa yang juga menoreh pohon karet di pohon sebelahnya.
Aku benar-benar tiba di dekat orang asing itu. Pikiranku buntu, entah apa yang harus kukatakan untuk mereka. Pada akhirnya yang kulakukan hanya bersembunyi di punggung nenek itu, menempelkan wajahku di bagian belakang tubuhnya. Bau badannya menyengat, bau keringat dan matahari menyatu. Seharusnya itu bukan bau yang menyenangkan, tapi dalam saat ini aku merasakan sedikit kebebasan dari kungkungan nafsu pria gila yang baru saja menjadi keluargaku.
Dengungan di kedua telingaku masih berlanjut. Aku masih menyurukkan wajahku di badan wanita yang tak kukenal ini. Tanganku mencengkeram kuat bajunya yang basah keringat, gemetar, ujung-ujung jariku mati rasa. Di kepalaku berputar-putar pertanyaan, apa yang harus kulakukan setelah ini? Bagaimana bila nenek ini menyerahkanku kembali ke Om Ridho? Apa aku harus kembali ke rumah? Kalaupun aku pulang, aku tidak mau pulang bersama lelaki bejat itu lagi. lalu aku harus berjalan kaki? Atau naik angkutan umum? Tapi bagaimana aku bisa mendapatkan angkutan umum di perkebunan seperti ini? Orang-orang asing ini, apa mau membantuku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, membentuk seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik, atau raga, menjadi hal yang kasat mata dan terlihat. Sedangkan psikis atau jiwa, ia tersimpan dan hanya dapat dirasakan dengan in...