Din! Din! Terdengar klakson sepeda motor dari depan rumah. Jam menunjukkan pukul 7 pagi, dan aku harus ke kampus, ada kuliah pagi.
Tok! Tok! "Magi, Ares di depan," terdengar suara Ibu dari balik pintu kamarku.
Kuseka wajahku dengan handuk, baru saja keluar dari kamar mandi. Aku tadinya sudah selesai bersiap-siap, namun rasa mual membuatku kembali ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutku.
"Iya," sahutku yang telah berdiri di depan cermin sambil memoles bibirku dengan liptint tipis. Belakangan ini wajahku terlalu pucat, sehingga perlu sedikit diwarnai.
Segera aku keluar dari kamar sambil membawa tas sampingku. Aku berjalan menuju pintu depan dengan sedikit tergesa.
"Topimu nggak dipake?" tanya Ibu yang baru kutemui begitu melewati ruang makan.
"Malas," jawabku. Topi itu sepertinya tidak terlalu diperlukan, toh aku tidak botak, dan semua orang dikampusku sudah tahu rambutku sekarang potongan pixie, dengan sedikit pitak di puncak kepala.
"Sarapan dulu, Gi," ajak Ayah Saka yang sedang menyeruput segelas kopi di ruang tamu.
"Di kampus saja," jawabku singkat sambil mengenakan sepatu dengan tangan kiri berpegangan di kusen pintu depan. "Pergi dulu, Om," pamitku basa-basi.
Aku segera menghambur ke jalan di depan rumah. Sudah ada Ares dengan skuter matic hitamnya yang penuh stiker. "Pagi," sapanya.
Tanpa berniat menjawab balik, aku langsung naik di boncengan dengan sigap. "Yuk," ajakku kemudian.
"Dih, ngomong apa dulu, kek," Ares protes, ia masih belum menjalankan sepeda motornya.
"Nanti saja," sahutku masa bodoh. Aku butuh tiba di kampus sesegera mungkin. Setelahnya, Ares langsung menarik gas skuternya.
Sebenarnya aku lebih suka naik angkutan umum untuk ke kampus. Selain menghemat anggaran parkir, aku juga tidak perlu repot-repot berkendara sendiri, tinggal duduk tenang hingga sampai tujuan. Penjemputan Ares seperti pagi ini sebenarnya cukup sering terjadi ketika dia dan aku masih satu sekolahan dulu. Namun selama kami berkuliah (walaupun di universitas yang sama), aku tidak ingin keseringan bersama lelaki rempong ini ke kampus. Selain karena alasan kepribadiannya yang ribet dan menyusahkan, aku juga tidak suka terlihat berdua dengannya di lingkungan kampus.
"Mau diturunin di gedung yang mana?" tanya Ares begitu memasuki gerbang universitas.
"Di gerbang fakultas saja," jawabku sambil mendekatkan wajah ke telinga kanannya.
"Nggak ke depan gedung kuliah sekalian?" tanyanya. Sudah kukatakan gerbang saja, masih ditanya lagi.
"Nggak perlu," sahutku sambil terus memperhatikan jalannya kendaraan disekitar.
Tadi malam, Ares menghubungiku via pesan singkat. Awalnya ia hanya menanyakan progress skripsiku, juga semacam menjelaskan tentang pertemuannya dengan Fira di kantin prodiku beberapa hari yang lalu. Secara garis besar, tetanggaku itu hanya mengulang penjelasan yang sudah kuterima sebelumnya dari Fira, dia minta maaf, mengatakan bahwa benar mereka berdua tidak membicarakan hal buruk tentangku, lalu ditutup dengan ajakan berangkat bareng ke kampus keesokan harinya. Aku menerima ajakan itu, karena tidak ada alasan untuk menolaknya.
Posisi Ares bagiku cukup rancu. Untuk sifatnya yang usil dan berisik, aku tidak suka, tidak sesuai dengan diriku. Sejak kecil, dia selalu menarikku ke situasi yang tidak begitu kusukai, tapi dia akan meletakkan dirinya sebagai 'media' agar aku menyatu. Lelaki yang tua hanya beberapa tahun saja dariku, menunjukkan bahwa ia bisa menjadi 'abang' sekaligus teman bermain yang akan membantuku berbaur dengan lingkungan apapun.
Banyak hal yang membuatku 'berhutang' padanya. Mulai dari hanya dia yang benar-benar mau berteman denganku tanpa rasa takut dengan Bapak, dia yang selalu menjadi 'tameng' saat aku berbuat onar atau tertimpa kesialan di lingkungan tetangga dan keluargaku, ia yang diutus Ibu menjadi 'nanny' di sekolah, hingga sekarang ia yang selalu rajin mengorek isi pikiranku hingga secara terpaksa ia menjadi wadah curhatku. Aku tidak terlalu suka sifatnya, tapi aku membutuhkan Ares dalam berbagai situasi. Dia lelaki yang bisa diandalkan, walaupun menyebalkan.
"Nyampe," katanya sambil memberhentikan sepeda motor tepat di depan gerbang.
Aku turun, sambil mengembalikan helm miliknya yang sedari tadi kupakai. "Terimakasih," ujarku untuk formalitas.
"Jangan ngambek lagi, ya. Kasian Fira, katanya sedih nggak kamu temenin," cerocos lelaki cerewet ini sambil menggantungkan helm dariku ke sangkutan skuter dekat lututnya.
"Pergi sana!" usirku kesal. Pada akhirnya semua kembali kepada Fira. Dengan kalimat dari Ares barusan, terjawablah bahwa semua yang dia lakukan dari sejak semalam hanya untuk siluman ulat bulu itu.
"Hehehe, daaah..." Ares pamit dengan wajah menyebalkannya yang khas.
***
Tidak ada yang menarik dari kuliah pagi ini. Seperti kuliah sebelumnya, aku tidak lagi duduk di bangku barisan terdepan, aku dalam geng Hera. Antara suka dan benci, tetapi aku memilih untuk menjadi 'penebar benih' kali ini. Waktu kehadiranku lebih cepat dari Yanti, sehingga aku bisa mengambil alih pekerjaan rutin mahasiswi haus validasi itu. Aku memposisikan diriku di tengah kelompok, sehingga besar kemungkinan aku akan bersebelahan dengan Hera.
Dalam penantianku aku memikirkan tentang rancangan proposalku yang sudah selesai kuperbaiki. Setelah ini aku berencana untuk menemui bu Afni untuk menyerahkan hasilnya. Harusnya hari ini proposal skripsiku rampung, setelah mendapat tanda ACC dari dosen pembimbingku itu. Tapi aku harus menemui si dosen bandot itu juga untuk menerima tanda ACC-nya, baru aku bisa menentukan jadwal seminar. Kepalaku pusing dan berdenyut mengingat pak Hendri dan kelakuannya.
"Kamu kenapa?" terdengar suara perempuan muda dari sisi kiriku. Aku menoleh, Hera baru saja tiba dan mengambil posisi duduk tepat di sebelah kiriku.
"Nggak apa-apa," jawabku sambil menegakkan badan.
"Ini buat kita 'kan?" tanya Hera sambil menunjuk semua bangku yang kuberi tanda dengan buku dan alat tulis lainnya. Ia mengonfirmasi bahwa aku menandai bangku untuknya dan seluruh anggota geng.
Aku mengangguk, "Baris keempat, sudah bisa?" aku balik bertanya, sedikit ragu apa tempat ini sudah sesuai dengan selera mereka.
"Bisa banget lah, Gi. Makasih banyak, ya," jawabnya dengan mengembangkan senyumnya yang ramah.
Aku balas tersenyum. Dalam hatiku seperti ditumbuhi bunga-bunga, perlahan namun semakin merimbun. Kuncup-kuncup kecilnya mekar seketika saat menerima senyuman Hera.
"Fira udah ditandai sekalian 'kan?" tanyanya lagi setelah menghitung kembali jumlah bangku.
Aku menggeleng, "Dia biasa maunya di depan," jawabku berbohong, aku cukup yakin Fira selama ini duduk di barisan paling depan hanya untuk menemaniku, tapi dengan mudahnya kukatakan bahwa bangku depan adalah kemauan si ulat bulu itu.
"Ooh. Gak pa-pa nih?" Hera memasang wajah ragu. Sepertinya dia tidak enak hati dengan Fira. Apa mungkin ini seperti Hera mengambilku dari circle pertemanan orang?
"Biasa saja," jawabku santai. Aku adalah diriku, dan hanya bersamaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, membentuk seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik, atau raga, menjadi hal yang kasat mata dan terlihat. Sedangkan psikis atau jiwa, ia tersimpan dan hanya dapat dirasakan dengan in...