Kalut

7 2 20
                                    


"Iiiih, enaknya yang besok udah naik seminar!" seru Hera kepada Yanti. Aku melihat ke arah lawan bicaranya itu, perempuan berkulit kuning langsat itu tersenyum lebar. Teman-teman lainnya memberikan seruan senada yang membuat hidung Yanti kembang-kempis bangga.

Kuteliti wajah manis Hera, terlihat sudut bibirnya sedikit turun. Sepertinya kemajuan yang dialami teman sendiri membuat kekecewaan pada progress diri sendiri.

Aku hanya terdiam sambil mengaduk-aduk coklat dinginku dengan sedotan. Secara kasat masa aku tak acuh, namun sebenarnya aku menyimak mereka. Prita dengan rasa ikut senang sekaligus bangga karena menganggap pencapaian Yanti karena bantuannya. Disa terlihat bahagia, tapi aku yakin dia tidak tulus. Mini sesekali menambahi kalimat-kalimat pujian untuk Yanti, tetapi ia jelas masa bodoh, karena proposal skripsi miliknya juga tinggal menunggu jadwal saja, atau mungkin sebenarnya dia sudah ada jadwal, hanya saja kebetulan hari seminar Yanti duluan.

Setelah beberapa kali menyeruput minuman, pandanganku fokus pada Hera yang duduk tepat di sampingku. Kami berdua berada paling ujung dari meja kantin tempat perkumpulan ini. Sebenarnya sangat jarang, Hera duduk di pinggir. Aku selalu melihatnya di tengah, menjadi pusat perhatian dari satu perkumpulan. Walaupun ia ikut tersenyum dan tertawa, cukup jelas terlihat dari gelagatnya bahwa Hera minder, membuatnya merasa rendah dan seperti memilih untuk minggir sedikit dari pusat perhatian gengnya.

Kuraih tangannya yang sedari tadi tergeletak lesu di atas meja. Segera wajahnya mengarah padaku. "Kenapa, Gi?" tanyanya dengan intonasi santai. Namun matanya terlihat sayu, tidak menyala seperti biasa.

"Proposal skripsiku mentok. Entah kapan Pak Hendri memberikan ACC," ujarku, lari dari topik pembahasan. Tapi aku yakin, yang dibutuhkan Hera adalah menemukan orang lain yang senasib dengannya.

Sudut bibir gadis manis ini perlahan tertarik ke atas, disusul gigi-geliginya yang terlihat karena mulutnya sedikit terbuka oleh tawa ringan.

"Mungkin aku perlu datang ke kantornya memakai bikini," sambungku dengan nada yang sama seperti sebelumnya. Aku berusaha untuk menambahkan sedikit 'keriangan' di intonasi bicaraku, karena jelas aku hendak menghibur Hera.

Tawa Hera semakin keras, membuat semua anggota gengnya menoleh ke arahnya. "Jangan dong, Gi. Bisa-bisa kamu malah di- DO," ujarnya di sela gelak tawanya.

Aku tersenyum melihat gadis favoritku sudah mulai ceria kembali. Sekilas aku melirik ke sekeliling, teman-teman Hera sedang terheran melihatnya yang tiba-tiba tertawa, padahal dalam pembahasan mereka sedang tidak ada topik yang lucu. Yanti yang paling cemberut, mereka sedang menyanjung-nyanjungnya, dan tiba-tiba Hera tertawa, mungkin ia merasa ditertawakan.

"Kenapa, Her?" tanya Prita sambil melihat ke ponsel yang ada di tangan Hera. Mungkin ia mengira Hera tertawa karena sesuatu di ponselnya.

Hera menggeleng, tawanya mereda, "Nggak, ini si Magi ngelawak," ujarnya setelah tawanya mereda.

Dalam hati aku merasa sangat bangga, sudah berhasil mengembalikan senyuman Hera. Gadis manis ini memang tidak cocok bersama geng tolol mereka! Orang-orang ini, apalagi Yanti, tidak benar-benar menjadi teman Hera. Lihat saja, mereka hanya mengemukakan apa yang mereka mau tanpa melihat akibatnya pada perasaan Hera.

Genggaman tanganku dan Hera sudah terlepas, tapi rasa lembut dan hangatnya masih ada. Setelah kulihat wajah Yanti yang kembali merengut karena perhatian orang-orang teralihkan darinya ke Hera yang terbahak, tekadku pun bulat untuk menarik Hera keluar dari geng egois ini. Aku tidak akan bergabung dengan mereka, justru akan menghancurkan kesolidan palsu ini, dan membawa gadis manis bermata cerah ini bersamaku.

Setelah melihat berbagai macam geng-geng anak labil sepanjang SMP, SMA, dan semester-semester awal kuliah, tidak ada yang namanya sahabat sejati. Semua hanya tentang sebab dan akibat. Geng, atau yang mereka perhalus dengan kata 'Lingkaran Persahabatan' juga begitu, bila kau saling membutuhkan, maka kau akan bersahabat. Kebutuhan juga variatif, bisa tentang uang, pengakuan, takut terlihat sendiri, atau sekedar memiliki hobi dan kebiasaan yang kebetulan sama. Tapi yang jelas, untuk menjadikan 'sahabat' menjadi akibat, maka kita perlu sebab yang konkrit.

"Gi," seseorang menyentuh lengan kiriku perlahan.

Aku refleks menoleh, dan mendapati Fira berdiri tepat di sampingku. Di kepalaku menimbang-nimbang apa yang harus kukatakan. Apa aku cukup menyahutinya singkat? Ataukah aku harus langsung menanyakan tujuannya mendatangiku?

Saat aku masih terdiam, ia langsung mengambil posisi duduk di sampingku, bergabung dengan kerumunan ini.

"Eh, Fir. Magi ternyata lucu juga, ya?" akhirnya Disa yang menyambut Fira dengan pertanyaan bodohnya.

"Masa' sih?" tanggap Fira dengan wajah tidak percaya. Ia tersenyum tipis, seolah memahami bahwa yang dikatakan Disa adalah keniscayaan.

Dan pada akhirnya Fira bergabung secara natural. Berarti tidak ada yang perlu kujelaskan atau kutanyakan. Aku pun melanjutkan kegiatan dengan kekertasan di hadapanku.

"Abis ini kemana, Gi?" tanya Fira.

Tanganku terhenti, dan menoleh padanya. "Mau konsul sama Bu Afni," jawabku. Aku tak yakin ekspresi apa yang sedang kutampilkan. Semua respon untuk Fira masih kupikirkan. Mau marah, kesal, merasa bersalah, memaafkan, atau biasa saja seolah tidak ada yang terjadi.

"Abis itu?" tanyanya lagi.

Aku mengangkat kedua bahu, "Entahlah. Kalau nggak ada kuliah, aku pulang saja."

"Loh, kok pulang? Kita 'kan mau main ke resto fast food di perempatan, kamu nggak ikut?" sambar Hera begitu mendengar jawabanku.

Aku menggigit bibir atasku. Untuk hari ini aku merasa sudah cukup dengan kerumunan, dan aku mau pulang untuk melapangkan pikiranku yang semrawut. Isi kepalaku penuh, semua topik dan pemikiran saling himpit dan bertumpang-tindih.

"Udahlah, Her. Kalo Magi mau pulang, biarin aja. Nggak usah dipaksa-paksa," seru Yanti dari kejauhan. Refleks aku melihat ke arahnya. Ia terlihat lega, seolah memang menantikan momen ini sejak tadi.

Ganti aku melihat Hera, ia juga memalingkan mukanya dari Yanti kepadaku. Matanya penuh harap, memintaku untuk membatalkan niat untuk pulang.

"Nanti aku nyusul aja," jawabku, sepertinya berbohong. Jelas aku akan menolak, tapi tatapan Hera menggoyahkanku.

Hera meraih tanganku, dan menggenggamnya dengan kedua tangan. "Kamu beneran nyusul ya," katanya meyakinkan.

Merasakan genggaman yang erat dari gadis manis yang kuidolakan ini membuat jantungku berdegup kencang. Mau-tak mau aku pun mengangguk, memberikan persetujuan pada permintaan Hera.

Senyum Hera mengembang, membuat wajahnya berkali-kali lebih manis. Aku pun tak sadar membalas senyuman itu.

"Ciee..." sorak sekitar.

Segera kutarik tanganku, tapi tidak bisa karena Hera menahannya dengan erat.

"Mau jadian?" tanyanya langsung.

Mataku membelalak, hanya melihat Hera, semua orang di sekitar seketika menghilang. Hening, hanya aku, Hera, dan perasaanku yang campur-aduk. Dia dan aku sama-sama perempuan, tapi hatiku bahagia, berbunga-bunga, dan rasanya aku mau melompat-lompat kegirangan.

Masih belum ada jawaban dariku, namun Hera dengan sigap menarik kursiku mendekat, memutarnya hingga posisi kami berhadap-hadapan. Mata kami bertemu dengan intens, jantungku semakin tak karuan. Setelah semakin diperhatikan, bola mata Hera ternyata berwarna coklat tua, dengan lipatan kelopak mata yang dalam, membuat pandangannya selalu teduh, menenangkan.

"Jawabannya, Magi?" tagihnya, wajahnya sudah sangat dekat denganku, hingga tiupan napasnya jelas terasa di permukaan kulit pipiku.

Aku tak tahu semerah apa mukaku saat ini. Yang jelas wajahku terasa panas, hingga seperti ada rasa uap yang mengepul.

Bibirku merasakan sentuhan benda kenyal dan lembut. Sepenangkapan mataku, wajah Hera benar-benar tertempel, dan sepertinya ia mengecupku. Hanya kecupan ringan yang singkat, lalu ia segera memberi jarak.

"Boleh?" tanyanya sopan.

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang