Kewarasan, Kenormalan II

11 4 16
                                    


Din! Din! Terdengar klakson mobil bertepatan dengan langkahku keluar gerbang sekolah. Aku menoleh ke sumber suara, itu mobil Om Ridho, lengkap dengan orangnya di dalam.

Kulanjutkan langkahku menuju jalan pulang. Kegiatan di sekolahku baru saja usai, dan aku berniat langsung pulang saja berjalan kaki, seperti biasa.

Mobil Om Ridho berhenti di hadapanku. Pintu bagian kemudi terbuka, dan terlihatlah lelaki itu turun menghampiriku.

"Sudah selesai pertemuannya, Gi?" tanyanya, basa-basi. Sangat jelas aku sudah keluar pekarangan sekolah, seharusnya tidak perlu ditanyakan lagi.

"Aku pulang jalan kaki saja, gak pa-pa," jawabku tidak nyambung dengan pertanyaan, tapi kurasa dia cukup memahami alurnya.

"Bareng Om aja, ya?" pintanya sambil menunjuk mobilnya. Wajahnya memelas.

Aku menggeleng, "Om lanjut aja. Aku bisa sendiri," pikiranku masih dipenuhi segala prasangka buruk untuknya.

"Jangan gitu dong, Magi. Ayolah, kasih Om kesempatan untuk bicara sama kamu," ia memohon. "Om perlu meluruskan hal yang membuat kita kikuk," tambahnya.

Aku tidak kikuk, aku biasa seperti ini. Ingatan tentang mimpi tak senonoh yang kudapati setelahnya yang justru menggangguku. Namun tak mungkin kuutarakan, karena banyak orang berpendapat bahwa mimpi adalah wujud dari keinginan-keinginan kita yang tidak tercapai. Menceritakan mimpiku berarti memberitahukan 'keinginan tersembunyi'-ku.

"Tidak masalah. Aku tidak kikuk," jawabku sambil berlalu.

"Kali ini saja, kasih Om kesempatan, ya?" Om Ridho mendahului dan mencegatku. Mata kami bertemu, mengingatkanku tentang adegan temu pandang kami dini hari tadi.

Aku terdiam, bimbang, antara melanjutkan kekeraskepalaanku atau mengalah dan mengikuti kemauannya. Ku lihat ke arah mobil itu, bergantian kulihat Om Ridho. Tatapan lelaki itu sangat memohon dan mengiba.

"Oke? Kali ini, kita bicara. Ya?" ia memastikan, setengah memaksa.

Aku masih diam, tapi dalam hati aku sudah memutuskan untuk memberinya kesempatan berbicara. Langkahku pun ku arahkan ke mobil Om Ridho yang terparkir tidak jauh dari tempat kami berdiri.

"Syukurlah," katanya sambil bergegas mendahuluiku ke bangku setir. Kususul ia masuk, duduk di bangku sampingnya.

Dalam benakku masih teringat kata-kata Ibu tentang panggilanku ke suaminya ini. Sejauh ini aku masih memanggilnya 'Om', sedangkan Ibu terlihat sangat berharap aku memanggilnya 'Ayah'. Dari pemilihan panggilan itu, terasa sekali Ibu ingin menegaskan posisi suaminya dikeluarga kami, tapi juga ingin menyampaikan bahwa ia bukan 'Bapak'.

"Gimana tadi hasil rapatnya?" Om Ridho memulai basa-basi di perjalanan singkat kami ini.

"Baik," jawabku seadanya. Aku hanya perlu menjawab, karena jawaban yang benar-benar diperlukan adalah jawaban dari topik utama nanti.

"Pengumuman kelulusannya kapan? Seminggu lagi, ya?" tanyanya lagi. Jelas ini hanya pertanyaan basa-basi berikutnya.

"Iya," jawabku. Untuk keadaan menyetir seperti ini, kami memang bersampingan, tapi tidak saling melihat, jadi aku perlu bersuara untuk merespon, tidak bisa hanya dengan anggukan atau gelengan.

"Waah, pasti deg-degan ya? Kira-kira Magi lulus nggak nih?" volume suara Om Ridho mulai nyaring, menunjukkan keceriaan dan kegirangan yang harusnya bisa memecah suasana mencekam ini.

Aku hanya terdiam, karena tidak tahu menanggapi bagaimana kalimat itu. Kalau aku katakan dengan jujur, bahwa aku yakin aku lulus, pasti akan terdengar sombong dan menyebalkan. Tapi aku juga tidak mungkin menjawab kalau aku yakin tidak lulus, itu sama saja aku mengakui bahwa aku membangun candi saat ujian berlangsung, dan tidak mengerjakan soal ujiannya sama sekali.

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang