ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
Ara POV
Tiba-tiba bel rumah berbunyi, suara yang langsung bikin harapan di hatiku meletup. Gue berdoa dalam hati, semoga itu Mama dan Papa. Ka Chika akhirnya ngelepasin ciumannya dan pergi ke pintu, sementara gue masih duduk di sofa dengan tatapan kosong, berusaha menenangkan diri. Gue nggak tahu siapa yang dateng.
Nggak lama kemudian, ada yang duduk di samping gue. Gue noleh, dan ternyata itu Papinya Ka Chika.
"Papiii..." Tanpa ragu, gue langsung meluk Papinya Ka Chika erat-erat, kayak nemuin pelindung di tengah ketakutan.
Papi sedikit mengelus kepala gue sambil menatap penuh perhatian. "Kenapa sih mukanya sedih gitu?" tanyanya dengan lembut.
Gue coba nutupin rasa gue, "Gapapa Papi..." jawab gue pelan, masih memeluknya erat-erat, berharap rasa tenang yang gue cari bisa gue dapetin dari sini.
Papi Chika terus elus kepala gue, bikin gue ngerasa aman walau cuma untuk sekarang. Kehadirannya jadi sedikit pelindung di tengah semua kegelisahan gue.
"Papi ngapain ke sini?" tanya Ka Chika sambil duduk di samping gue dengan tatapan penuh selidik.
Papi tersenyum kecil dan menaruh kotak makanan di meja depan kami. "Papi cuma mampir sebentar, bawa makanan buat kalian," jawabnya lembut.
Papi berdiri, kayaknya mau pamit. "Kalau begitu, Papi pulang dulu ya. Kalian jaga diri di sini."
Tapi gue langsung refleks menggenggam tangan Papi erat-erat. "Enggak! Papi di sini aja, jangan pulang dulu," ucap gue cepat, suara gue hampir terdengar putus asa. Rasa takut yang tadi masih tersisa bikin gue nggak mau Papi ninggalin gue di sini.
Papi terdiam sejenak, kayaknya heran lihat gue nahan dia, tapi dia akhirnya kembali duduk di samping gue. "Ara, ada yang mau kamu ceritain ke Papi?" tanyanya lembut.
Gue cuma geleng pelan, tapi hati gue terasa lebih tenang. Meskipun gue belum berani ngomong apa-apa, setidaknya keberadaan Papi bikin gue ngerasa sedikit terlindungi dari Ka Chika. Ka Chika ngeliat kita berdua dengan tatapan yang nggak bisa gue artiin, kayak ada perasaan campur aduk di sana-antara kesal, cemburu, dan... sesuatu yang lebih gelap.
Papi elus kepala gue sekali lagi. "Yaudah, Papi temenin sebentar. Ara, kalau ada yang mau diceritain, Papi di sini oke?"
Gue mengangguk pelan. Sementara itu, Ka Chika duduk di sebelah kami, terdiam dengan ekspresi yang sulit ditebak. Tapi untuk sekarang, gue ngerasa sedikit aman, meskipun gue nggak tahu sampai kapan.
"Eh, Ara ikut Papi pulang ya," ucap gue, menatap Papi dengan harapan.
"Yuk, kalau mau ayo," balas Papi Puccho dengan senyuman yang hangat.
"Chika ikut juga, kan?" tanya Papi sambil melihat ke arah Ka Chika.
"Ikut," jawab Ka Chika, suaranya datar, tapi ada sedikit rasa enggak sabar di sana.
Gue berusaha tenang, berharap setidaknya di rumah Ka Chika ada Papi Puccho dan Mami Aya. Keduanya bisa jadi pelindung gue untuk sementara waktu.
Kami pun berdiri dan berjalan keluar. Papi Puccho berjalan di samping gue, sedangkan Ka Chika ada di belakang, menjaga jarak yang sedikit aneh.
"Eh, Ara kok jalannya gitu?" tanya Papi Puccho ketika melihat langkah gue pincang.
"Baru aja kaki Ara keseleo," jawab gue, berusaha terlihat santai.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Older Cousin √ {END}
Teen FictionCerita yang mengisahkan hubungan kompleks antara dua sepupu, Ara dan Chika. Dimulai dengan ikatan keluarga yang erat, hubungan mereka perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan rumit. Cerita ini mengeksplorasi emosi yang penuh intensit...