MOC 77

481 61 2
                                    

ᅠᅠ

ᅠᅠ

ᅠᅠ

ᅠᅠ

ᅠᅠ

Chika membuka kotak P3K dengan tenang, mengambil kapas dan antiseptik. Tatapannya serius saat melihat luka di lengan Ara yang tampak cukup dalam, mungkin akibat goresan dari pohon jambu tadi.

"Ini bakal sedikit perih Ra," ucap Chika pelan, mulai membersihkan luka dengan hati-hati menggunakan kapas yang dibasahi antiseptik.

Ara menggigit bibir, menahan sakit tanpa mengeluarkan suara. Namun, begitu antiseptik menyentuh lukanya, ia sedikit tersentak. "Sakit Ka..." bisiknya pelan.

"Tahan dulu ya, sebentar lagi selesai," ucap Chika dengan nada lembut, menenangkan Ara.

"Pelan-pelan ih," protes Ara, suaranya semakin kecil.

"Ini udah pelan sayang," jawab Chika, sedikit tersenyum, berusaha menghibur.

"Perih tau..." Ara bergumam, matanya mulai berkaca-kaca.

Chika dengan sabar menyelesaikan perawatan luka Ara. Setelah selesai, ia meletakkan kotak P3K di meja, lalu berbalik menatap Ara yang masih duduk dengan wajah tampak sedikit lesu.

"Udah udah... Jangan nangis ya," ujar Chika sambil mengelap sisa air mata yang mulai turun di pipi Ara.

Tiba-tiba, Ara memeluk pinggang Chika erat-erat, menyembunyikan wajahnya di perut Chika, mencari kenyamanan. Chika terdiam sejenak, lalu dengan lembut mengelus kepala Ara, menenangkan gadis itu.

"Masih sakit?" tanya Chika pelan sambil menatap wajah Ara yang masih bersandar di perutnya. Ara mengangguk, pelan tanpa mengangkat wajahnya.

Chika menghela napas lembut. Ia kembali mengusap kepala Ara, menenangkannya. "Maaf ya Ra... Kalau gue bisa, gue pasti pengen gantiin rasa sakit lo sekarang."

Ara hanya diam, membiarkan kata-kata itu masuk perlahan ke hatinya yang masih perih. Kehangatan pelukan Chika dan cara Chika mengelus kepalanya seolah menjadi pelipur sementara rasa sakit di lengannya.

Tak lama kemudian, Ara menatap Chika dengan tatapan serius. "Gue belum maafin lo," ucapnya pelan, meskipun hatinya sedikit bergetar saat mengatakannya.

Chika hanya tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa perih mendengar kata-kata itu. "Gapapa, gue bakal nunggu sampe lo maafin gue," jawabnya dengan lembut, seolah menerima semua itu dengan sabar.

Ara merasa sedikit kikuk, ingin mengucapkan terima kasih atas semua perhatian Chika, tapi gengsinya menghalanginya. "Mau bilang makasih, tapi gengsi banget, gimana ya? Gengsi gue lebih tinggi daripada nilai gue" batinnya. Tanpa berpikir panjang, ia menggigit perut Chika dengan keras, lalu langsung berlari.

"Bener-bener lo Ra!" seru Chika setengah berteriak sambil mengusap perutnya yang terasa sakit.

Chika pun langsung mengejar Ara yang lari dengan cepat.

Di tangga, Shani melihat Ara berlari dengan ceria. "Jangan lari-lari Ara!" ucap Shani dengan suara lembut, tapi ara sudah terlalu jauh.

Ara melompat ke samping Shani, lalu duduk dan memeluknya. "Kenapa sih?" tanya Shani, lembut sambil mengelus kepala Ara.

"Ara dikejar tante-tante," jawab Ara dengan cemberut, tapi suara diakhir kalimatnya sedikit mencibir.

"Tante-tante? Siapa?" tanya Shani, bingung.

"Tante Chika," jawab Ara.

Shani tersenyum, tapi wajahnya berubah sedikit khawatir. "Ara, nggak boleh gitu," katanya, sedikit merasa tak enak melihat tingkah Ara.

My Older Cousin √ {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang