Chika duduk di dalam mobilnya, menatap kosong ke jalanan di depannya. Tangan kanannya mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Gue benci lo, Ra," desisnya pelan, suaranya bergetar antara marah dan kecewa. "Gue malu punya sepupu kayak lo."
Ingatan tentang foto yang dikirim seseorang kepadanya—dan kini tersebar luas di sekolah—masih membekas di pikirannya. Kata-kata orang-orang yang mengejek dan menertawakannya terus terngiang di telinga, membuat amarahnya semakin membara.
"Gue benci lo, Ara. Benci banget!" katanya lagi, kali ini lebih keras.
Chika menunduk, kepalanya bersandar di setir, tapi kata-katanya terus keluar tanpa henti. Semua perasaan itu sudah terlalu lama ia pendam.
"Lo gak tau berapa malunya gue punya sepupu kayak lo! Lo gak pernah mikirin apa yang gue rasain."
Air mata mulai mengalir, tapi Chika tetap tak peduli. Amarahnya menguasainya sepenuhnya.
"Lo emang cewek murahan! Gue gak akan pernah nganggep lo sepupu gue lagi. Gak akan pernah!"
Ia terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam, tetapi emosinya tak juga mereda.
Setelah beberapa saat, Chika keluar dari mobil dan berjalan menuju kantin, tempat Ashel dan Eli sedang duduk. Namun sebelum sempat masuk, telinganya menangkap percakapan dari meja sebelah.
"Eh, denger-denger dari angin lewat, katanya dia sepupu Ara tau?" seseorang berkata, diikuti tawa pelan dari yang lain.
"Gue kalau jadi dia, malu sih punya sepupu kayak Ara," timpal suara lain.
"Iyalah! Apalagi Ara pacaran sama om-om," kata yang satu lagi, disambung tawa lainnya.
"Jangan-jangan nanti dia juga sama kayak Ara," sambung yang lain, membuat seluruh meja tertawa lebih keras.
Chika berdiri di ambang pintu kantin, terdiam mendengar kata-kata itu. Tawa mereka terdengar begitu jahat, begitu merendahkan. Seketika perasaan benci kembali menguasainya. Ara bukan satu-satunya yang dipermalukan—Chika juga ikut menanggungnya. Dan itu membuat kebenciannya semakin mendalam.
Perlahan, ia mundur selangkah, memilih untuk tidak memasuki kantin. Ia berjalan menjauh, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, kata-kata orang-orang tadi terus terngiang di kepalanya.
Kenapa sih semuanya jadi kayak gini? Kenapa harus dia yang ikut dihina?
Chika berhenti sejenak di depan mobilnya, menatap kaca spion. Cermin itu seakan memantulkan sosok dirinya yang tak ia kenali. Ia merasa kehilangan arah, kebingungan di tengah rasa marah yang membara.
Bel pulang berbunyi.
Tanpa pikir panjang, Chika berjalan ke kelas, matanya langsung mencari sosok Ara. Ia menemukannya sedang duduk sendirian, sibuk menyusun buku-buku ke dalam tas.
Langkah Chika semakin cepat. Saat sudah cukup dekat, ia langsung mencengkeram pipi Ara dengan kasar, memaksa wajahnya menghadap ke depan. Tangan kirinya mencengkeram pergelangan tangan Ara begitu kuat hingga membuat gadis itu terkejut.
"Gara-gara lo, gue dapet ucapan jahat dari mereka!" teriak Chika, suaranya dipenuhi kemarahan yang tak bisa ia tahan lagi.
"Gue benci lo, Ra! Gue benci!"
Pipi Ara dan tangan kirinya terasa sakit karena cengkeraman itu, tapi ia hanya diam. Ekspresinya datar, tidak membalas, tidak melawan.
"Lo bukan sepupu gue lagi! Gue gak punya sepupu murahan kayak lo!"
Cengkraman Chika semakin kuat, kukunya menekan kulit Ara, menciptakan goresan merah di tangannya.
Ara menghela napas perlahan. "Iya, gue cewek murahan, kenapa?" tanyanya, nada suaranya tenang tapi tajam.
Chika terdiam sejenak, terkejut dengan respon Ara. Namun, emosinya kembali meluap. Tanpa pikir panjang, ia menampar pipi Ara dengan keras.
Plak!
Sudut bibir Ara robek, darah mengalir pelan.
Namun, yang ia lakukan hanyalah menyentuh pipinya perlahan. "Sakit juga ya," katanya, nadanya terdengar santai.
"Tapi lebih sakit hati gue," lanjutnya, menatap Chika dengan ekspresi kosong.
Chika menggigit bibirnya, emosinya semakin tidak terkontrol.
"Apa? Lo mau tampar gue lagi? Silakan, gue nggak ngelarang lo. Nih, tampar aja." Ara menunjuk pipinya yang masih terasa panas.
Chika, yang sudah terlampau emosional, kembali menamparnya.
Plak!
Ara tidak bergeming, matanya tetap menatap Chika dengan dingin.
"Belum puas? Sebelah kanan belum, kan?" katanya santai, membuat Chika semakin frustrasi.
Sementara itu, dada Ara terasa semakin sesak. Tapi ia bertekad untuk tidak menangis. Ia sudah lelah.
"Lo benci gue karena lo belum tau kebenarannya gimana," gumamnya dalam hati, suaranya bergetar pelan. "Kalau lo udah tau, gue gak akan mau maafin lo. Gue gak akan pernah luluh sama sikap lo. Gue benci sama lo. Gue kira lo orang yang benar-benar sayang sama gue... ternyata gue salah."
Chika terdiam di tempatnya, wajahnya masih penuh amarah, tapi ada sesuatu di matanya—kebingungan, atau mungkin penyesalan. Namun, kebencian itu terlalu dalam untuk bisa hilang begitu saja.
"Lo... Lo gak ngerti, Ra," katanya dengan suara yang mulai lemah. "Gue cuma... gue cuma marah, karena semua orang jadi ngomongin kita. Gue malu."
Ara menatapnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Lo malu sama gue, Ka? Lo malu punya sepupu kayak gue?" suaranya mulai meninggi. "Gue juga malu, lo tau? Malu karena gue udah berharap lo bisa jadi orang yang paham gue. Tapi ternyata... gue salah."
Chika membisu.
Ara menatapnya tajam sebelum berbalik dan melangkah keluar dari kelas. Langkahnya cepat, seolah ingin meninggalkan segalanya.
Chika berdiri di tempatnya, mematung. Kata-kata Ara terus bergaung di kepalanya.
Namun, ia menggigit bibirnya, berusaha menekan perasaan yang mulai goyah. Dengan suara lirih, ia berkata, "Gue gak akan anggap lo ada di dunia ini."
Tapi di dalam hatinya, entah kenapa, kata-kata itu terasa kosong.
tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
My Older Cousin √ {END}
Teen FictionCerita yang mengisahkan hubungan kompleks antara dua sepupu, Ara dan Chika. Dimulai dengan ikatan keluarga yang erat, hubungan mereka perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan rumit. Cerita ini mengeksplorasi emosi yang penuh intensit...