Chika tetap duduk tenang di sebelah Ara, meski adiknya itu jelas-jelas terlihat kesal. Ia tahu betul bahwa memaksakan diri untuk meminta maaf atau membahas masalah mereka saat ini hanya akan memperburuk keadaan. Ara selalu menutup diri dengan kata "tidak" setiap kali ditanya tentang perasaannya. Namun, Chika memilih untuk bersabar. Ia menundukkan kepala sedikit, menatap Ara dengan mata lembut.
"Sayang," panggilnya pelan, suaranya tetap tenang. "Yang mana yang nggak ngerti? Coba kasih tahu aku."
Ara mendengus pelan, masih berusaha menutup diri. "Jangan ganggu."
Chika hanya mengangguk, tak terpancing dengan jawaban itu. "Aku nggak ganggu, Ra. Aku cuma pengen bantu," ucapnya, suaranya tetap sama lembutnya seperti sebelumnya.
Ara mendelik ke arahnya, tatapannya penuh ketidakpastian. "Kenapa sih lo nggak pernah berhenti? Lo nggak capek, Chik?" batinnya. Tapi kata-kata itu tak keluar dari mulutnya.
Chika tidak menyerah. "Yang mana yang nggak ngerti? Biar aku ajarin, Ra."
"Gue nggak butuh bantuan lo!" balas Ara, suaranya lebih rendah, seolah menahan emosi yang terus memuncak.
Chika tetap tak bergerak, matanya tetap mengawasi Ara yang masih menatap soal di depannya dengan frustrasi. Ia berbicara dengan penuh ketenangan. "Aku cuma pengen ngebantu, Ra. Kalau kamu nggak ngerti, aku bisa jelasin. Nggak ada salahnya kok."
Tak ada jawaban dari Ara selain sebuah tatapan kosong, tapi Chika tahu, itu hanya pertahanan dirinya. Jadi, ia tetap duduk dengan sabar, menunggu sampai Ara akhirnya mau membuka diri.
"Oke, aku ajarin dari nomor satu sampai seterusnya, ya," ucap Chika dengan lembut.
Ia mendekat sedikit, cukup untuk memastikan Ara bisa mendengarnya dengan jelas. Perlahan, Chika membuka buku Ara, menunjukkan soal-soal yang sulit dengan tangan yang lembut. Matanya tetap menatap Ara, mencoba membaca ekspresi wajahnya.
"Ayo, coba kita mulai dari soal pertama," ucap Chika dengan senyum kecil.
Ara tetap diam, tapi matanya mengikuti gerakan tangan Chika yang dengan sabar menjelaskan. Perasaan frustrasinya mulai mereda sedikit demi sedikit, meskipun ia masih merasa enggan untuk terbuka.
Saat Chika sedang menjelaskan soal yang kelima, pikiran Ara mulai melayang. Suasana di sekitar tiba-tiba terasa semakin berat. Kata-kata yang pernah terucap dari seseorang yang sangat ia percayai tiba-tiba muncul di kepalanya.
"Ra, gue kecewa sama lo! Gue bener-bener kecewa! Gue juga malu, Ra! Malu!"
"Mungkin kalau lo nggak lahir, gue nggak akan pernah semalu ini. Ini lebih memalukan dari apa pun yang pernah gue rasain."
"Gue nggak ngerti kenapa lo bisa sebodoh ini."
"Gue benci lo, Ra! Gue benci!"
"Lo bukan sepupu gue lagi! Gue nggak punya sepupu murahan kayak lo!"
"Cewek murahan!"
"Cewek murahan!"
"Cewek murahan!"
Kata-kata itu terus berputar di kepalanya, menghantamnya tanpa henti seperti gelombang besar yang tak bisa ia hindari.
Telinganya berdengung, semakin lama semakin keras. Napasnya mulai tersengal, dadanya terasa sesak. Tangannya terangkat, meremas rambutnya dengan kuat, mencoba mengusir suara-suara itu dari pikirannya. Tapi semakin ia berusaha, semakin tajam kata-kata itu menghujam.
"Kenapa lo bisa ngomong kayak gitu ke gue, Chik? Apa gue emang seburuk itu?" batinnya, merasakan tubuhnya mulai bergetar.
Chika, yang masih duduk di sampingnya, awalnya tidak menyadari perubahan itu. Ia masih fokus menjelaskan, suaranya tenang seperti biasa. Tapi ketika melihat tangan Ara mulai meremas rambutnya sendiri, Chika langsung menyadari ada sesuatu yang salah.
"Ara?" panggilnya pelan.
Namun, Ara tak menjawab. Tangannya kini beralih menutup telinganya, seolah mencoba menahan suara-suara yang menghantuinya.
Chika mulai panik. "Ra, kamu kenapa?"
Ara masih tak merespons. Napasnya semakin berat, matanya berkabut. Dan sebelum Chika bisa melakukan sesuatu, Ara mulai memukul-mukul kepalanya sendiri, mencoba menghentikan kegelisahan yang terus menghantamnya.
Chika langsung bergerak, berusaha menghentikan Ara. "Ra, jangan!" serunya, mencoba meraih tangan adiknya.
Namun, Ara yang sudah terlalu terpuruk menepis tangan Chika dengan kasar. "Jangan sentuh gue!" teriaknya, suara putus asa bercampur kemarahan.
Chika terkejut, tapi ia tak mundur. Ia tahu, Ara sedang berjuang melawan dirinya sendiri, dan ia tak akan membiarkan adik sepupunya menghadapi ini sendirian. Dengan hati-hati, ia mencoba meraih tangan Ara lagi, kali ini dengan lebih lembut.
"Ra, lihat aku," ucapnya pelan, mencoba membuat Ara kembali ke dunia nyata. "Kamu aman. Aku di sini."
Ara masih gemetar, matanya masih kosong. Tapi sentuhan lembut Chika sedikit demi sedikit mulai menembus dinding pertahanannya.
"Aku di sini, Ra," ulang Chika, suaranya lebih lembut, lebih penuh kasih sayang.
Ara menggigit bibirnya, tubuhnya masih bergetar. Tapi kali ini, ia tidak menepis tangan Chika. Ia hanya diam, membiarkan Chika menggenggam tangannya erat.
Dan akhirnya, Ara membiarkan air matanya jatuh.
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
My Older Cousin √ {END}
Teen FictionCerita yang mengisahkan hubungan kompleks antara dua sepupu, Ara dan Chika. Dimulai dengan ikatan keluarga yang erat, hubungan mereka perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan rumit. Cerita ini mengeksplorasi emosi yang penuh intensit...