MOC 94

296 60 3
                                    


Ara terus melangkah tanpa menoleh, hatinya terasa semakin berat. Begitu sampai di parkiran, matanya langsung menangkap mobil Mira yang sudah terparkir di sana. Tanpa ragu, ia membuka pintu dan masuk ke dalam.

"Lama banget lo, anjing!" keluh Mira, jelas kesal karena harus menunggu.

Ara hanya menghela napas, duduk dengan tenang. "Maaf, gue baru keluar," jawabnya datar.

Mira meliriknya sekilas, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Ia menghidupkan mobil dan melajukannya, membawa Ara pergi menjauh dari semua keributan yang baru saja terjadi.

"Berantem sama siapa lo?" tanya Mira setelah beberapa saat, matanya menangkap sudut bibir Ara yang berdarah.

"Sama dia," jawab Ara, suaranya tetap datar.

"Sepupu lo?" Mira makin penasaran.

Ara tertawa kecil, tapi terdengar lebih seperti ejekan untuk dirinya sendiri. "Gak. Dia bukan sepupu gue lagi."

Mira mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Katanya dia gak mau punya sepupu murahan kayak gue, yaudah, gue turutin aja."

Mira terdiam, berusaha mencerna kata-kata Ara. "Serius dia bilang gitu?"

"Iya." Suara Ara lirih, nyaris tak terdengar. Matanya menatap kosong ke luar jendela, enggan mengulang kata-kata yang sudah cukup menyakitinya tadi.

"Gue gak nyangka," gumam Mira, masih tak percaya.

"Sama, gue juga," jawab Ara pelan.

Mira menghela napas, lalu membelokkan mobil ke arah sebuah minimarket. "Tunggu di sini sebentar," katanya sambil keluar.

Tak lama, ia kembali dengan kantong plastik di tangan. "Sini, gue obatin dulu."

"Yaudah, cepet!" sahut Ara.

"Sabar, bangke! Obatnya aja belum gue keluarin. Lama-lama lo yang gue keluarin dari mobil gue!" omel Mira.

Ara hanya mendengus pelan, tidak membalas. Mira pun mengeluarkan obat antiseptik dan meneteskan isinya ke kapas. Namun, baru saja kapas itu hampir menyentuh luka di bibir Ara, gadis itu langsung menjerit.

"ADUH! SAKIT, MIR!"

"BELOM, TOLOL! DRAMA BANGET LO!" Mira mendelik kesal.

"Oh," jawab Ara singkat, sadar bahwa ia bereaksi terlalu cepat.

Setelah selesai mengobati luka Ara, perjalanan pulang mereka diwarnai keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, seakan mencerminkan suasana hati Ara yang kacau. Ia menatap kosong ke luar jendela, pikirannya masih dipenuhi kata-kata yang tadi menghancurkan hatinya. Mira sesekali meliriknya, tapi memilih diam. Terkadang, tidak ada kata-kata yang cukup untuk menenangkan seseorang yang sedang terluka begitu dalam.

Begitu sampai di rumah, Ara langsung masuk tanpa berkata apa-apa. Kakinya terasa berat saat melangkah menuju kamar. Begitu pintu tertutup, ia duduk di tepi ranjang, membiarkan kesunyian mengisi ruangan.

Malam itu, meskipun tubuhnya lelah, pikirannya terus berputar, bertanya-tanya apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

~~~

Keesokan harinya, Ara kembali ke sekolah dengan ekspresi yang sama—datar, tanpa emosi. Meski masih mendengar ucapan jahat dari teman-temannya, ia tidak lagi terlalu terpengaruh. Luka di hatinya sudah terlalu dalam hingga rasa sakit dari mereka terasa semakin ringan.

Bel masuk berbunyi, dan seluruh siswa diminta berkumpul di aula. Ara berjalan ke sana bersama teman-temannya, wajahnya tetap tanpa ekspresi.

Di depan, kepala sekolah berdiri dengan sikap tegak, memegang mikrofon. "Saya mendapatkan informasi bahwa ada seorang siswi yang berhubungan dengan seorang pria yang bisa dibilang umurnya cukup tua, dan foto mereka berdua tersebar di sekolah ini."

Mendengar itu, Chika yang berdiri di antara kerumunan merasakan amarahnya makin membuncah. "Kepala sekolah sampai tahu, Ra! Lo malu-maluin gue!" batinnya penuh kebencian.

Suasana aula semakin tegang. Semua siswa berbisik, saling menebak siapa yang dimaksud.

"Saya berdiri di sini untuk meluruskan masalah ini," lanjut kepala sekolah, suaranya tegas. "Setelah diteliti, foto tersebut hanyalah editan. Itu bukan foto asli. Dan kami sudah mengetahui siapa yang menyebarkan hoaks ini."

Hening. Ara tetap berdiri tegak, tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.

"Kami tidak akan menyebutkan namanya di sini," lanjut kepala sekolah, "tetapi kami pastikan orang tersebut akan ditindaklanjuti sesuai aturan sekolah."

Kepala sekolah mengedarkan pandangan ke seluruh aula. "Yang terpenting, saya ingin menegaskan bahwa foto yang tersebar itu adalah hoaks. Saya harap mulai saat ini, tidak ada lagi fitnah dan perundungan di sekolah ini."

Keheningan menyelimuti ruangan. Beberapa siswa mulai terlihat ragu, sementara beberapa lainnya hanya diam, merasa bersalah atas prasangka mereka.

Ara tetap tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu, meskipun kebenaran sudah terungkap, luka yang ditinggalkan dari semua ini tidak akan mudah hilang.








tbc

My Older Cousin √ {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang