ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
Bel masuk berbunyi nyaring, menggema di seluruh kantin. Semua siswa yang sedang menikmati waktu istirahat segera bergegas menuju kelas masing-masing, menciptakan suasana hiruk-pikuk. Ara dan teman-temannya ikut berdiri, meninggalkan meja tempat mereka duduk.
"Jangan lupa ya," bisik Chika sambil menggenggam tangan Ara.
Ara merasakan jantungnya berdebar cepat ketika mendengar bisikan Chika. Tangan Chika yang menggenggamnya seolah mengikatnya dalam dilema yang membingungkan. Namun, tanpa berlama-lama, Ara memilih untuk melepaskan diri dari genggaman tersebut dan berlari menuju kelas.
Sesampainya di dalam kelas, ia mencoba mengatur napasnya. Ara duduk di bangku dengan wajah memerah, berusaha fokus pada pelajaran yang akan dimulai. Namun, pikiran tentang Chika dan apa yang baru saja terjadi masih menghantuinya, membuatnya sulit berkonsentrasi pada materi yang diajarkan.
Untungnya, di pelajaran sekarang, Chika tidak masuk ke kelas Ara. Ara merasa sedikit lega, setidaknya bisa bernapas tanpa tekanan dari Chika.
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, semua siswa bergegas keluar, dan Ara segera berlari ke kamar mandi. Ia memilih salah satu bilik dan mengunci dirinya di dalam sana.
Ara duduk di toilet dengan jantung berdebar kencang, berusaha menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa Chika pasti akan mencarinya, dan ia butuh waktu sejenak untuk meresapi semua yang terjadi. Dalam kesunyian bilik itu, pikiran-pikiran tentang Chika terus berputar di kepalanya.
"Kenapa semuanya jadi begini?" bisiknya pada diri sendiri, mencoba mencari jawaban di tengah ketidakpastian yang mengganggu hatinya.
Ara mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat notifikasi dari Chika. Beberapa pesan baru, tetapi ia memilih untuk tidak membukanya. Perasaannya campur aduk, ia tidak ingin terjebak dalam percakapan yang bisa semakin membingungkan.
Dengan cepat, ia menonaktifkan ponselnya dan meletakkannya kembali di dalam tas. Dalam sepi bilik kamar mandi, ia berusaha mencerna semua yang terjadi, mencoba untuk meredakan kegelisahan yang terus mengganggu. Ara tahu ia harus menghadapi Chika, tetapi untuk saat ini, ia hanya butuh waktu untuk dirinya sendiri.
Menutup mata sejenak, ia menarik napas dalam-dalam, berharap dapat menemukan ketenangan di tengah kekacauan yang ada.
Ara masih menutup matanya hingga ia tak sadar terlelap. Beberapa jam kemudian, ia terbangun dan melihat jam tangannya. Ternyata sudah jam 4 sore, ia telah tertidur selama tiga jam. Saat itu, perutnya terasa sakit dan mual, membuatnya merasa tidak nyaman.
Dengan langkah pelan, Ara berjalan keluar dari sekolah, memegang perutnya yang semakin menyakitkan. Ia akhirnya duduk di kursi dekat gerbang, berusaha mengumpulkan tenaga. Dalam kondisi tidak nyaman, ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Cio.
"Haloo Pa," ucap Ara pelan.
"Haloo Ara. Kamu di mana? Kata Mama kamu belum pulang," tanya Cio, nada suaranya penuh kekhawatiran.
"Ara di sekolah, tolong jemput Ara," pinta Ara dengan suara lemah.
"Oke. Tunggu di situ ya, Papa kesana sekarang," jawab Cio, lalu langsung mematikan teleponnya.
Sambil menunggu, Ara masih memegang perutnya yang terasa sangat sakit. Rasa mualnya semakin menjadi-jadi, dan dadanya terasa terbakar. Beberapa menit kemudian, Cio tiba. Ia segera turun dari mobil dan menghampiri Ara.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Older Cousin √ {END}
Teen FictionCerita yang mengisahkan hubungan kompleks antara dua sepupu, Ara dan Chika. Dimulai dengan ikatan keluarga yang erat, hubungan mereka perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan rumit. Cerita ini mengeksplorasi emosi yang penuh intensit...