MOC 74

392 49 7
                                    

ᅠᅠ

ᅠᅠ

ᅠᅠ

ᅠᅠ

ᅠᅠ

Chika mencoba menahan diri, menarik napas dalam-dalam sambil mengalihkan pandangannya sejenak dari Ara dan Angkasa yang tampak begitu akrab di tengah lapangan.

"Tahan Chika... Ara belum maafin lo, nanti dia makin marah sama lo," batinnya mencoba menenangkan diri, walaupun hatinya terasa seperti diremas.

Namun, pikiran itu tak cukup meredam perasaannya. Melihat senyum Ara pada orang lain membuat darah Chika mendidih, cemburu yang semakin membakar. Matanya kembali menatap mereka, dan dalam hatinya, ia bergemuruh, seolah berteriak pada dirinya sendiri.

"Tapi nggak bisa! Ara lagi bercanda sama orang lain. Gue cemburu Ra! GUE CEMBURU! C-E-M-B-U-R-U!"

Chika menggenggam tangannya erat, mencoba menahan amarah yang mulai mendominasi pikirannya. Namun semakin dia mencoba menahan, perasaan itu justru semakin menguasai dirinya. Kecemburuannya pada Angkasa membuatnya ingin segera berdiri dan menarik Ara menjauh, menunjukkan bahwa hanya dirinya yang berhak mendapatkan perhatian Ara. Tapi Chika tahu, jika dia melakukannya sekarang, itu hanya akan membuat Ara semakin menjauh darinya.

Dengan perasaan kacau dan pertentangan batin yang semakin intens, Chika hanya bisa menahan diri, meskipun ia tahu, batas kesabarannya hampir habis.

Eli mengerutkan kening sambil mengipasi dirinya dengan tangan. "Kok makin panas ya! Ada apa ini!" ujarnya dengan keras, setengah bercanda, melirik ke arah Chika yang wajahnya terlihat semakin serius.

Ashel yang sudah menangkap suasana itu malah menahan tawa, menyikut Eli pelan. "Udah diem aja, lo malah bikin tambah panas," bisiknya sambil berusaha menahan tawanya agar tidak terdengar.

Ara, yang mendengar suara Eli, melirik sedikit ke arah mereka. Sekilas ia melihat Chika yang duduk dengan ekspresi cemburu yang tak bisa disembunyikan. Ara tersenyum kecil, lalu dalam hatinya berpikir, "Oh, ada Ka Chika. Gue tau dia cemburu, tapi gue cuma mau nunjukin kalau gue bukan milik dia."

Ara menghela napas pelan, melanjutkan bermain dengan Angkasa, meski ia sadar Chika terus mengawasinya. Di satu sisi, ada perasaan puas dalam dirinya karena bisa menunjukkan kepada Chika bahwa dirinya bukanlah milik siapa pun, bahwa ia punya hak untuk berteman dan bergaul dengan siapa saja. Tapi, di sisi lain, Ara sedikit khawatir, takut jika perasaan cemburu Chika akan menjadi sesuatu yang sulit dikendalikan.

"Kenapa Ra?" tanya Angkasa yang menyadari Ara terlihat diam sejenak.

"Gapapa kok," jawab Ara sambil tersenyum kecil, berusaha menutupi apa yang sebenarnya ia pikirkan.

"Kalau gitu, sekarang kita tanding ya! Berani nggak?" tantang Angkasa dengan antusias.

"Berani lah!" Ara menjawab penuh semangat, tak mau terlihat kalah.

"Siap!" seru Angkasa sambil tersenyum lebar.

Mereka pun mulai bertanding, tapi Angkasa terus saja unggul. Setiap kali Ara mencoba mencetak poin, Angkasa selalu berhasil menghentikannya.

"Ihh, kamu mah nggak mau ngalah sama akuuu!" protes Ara dengan nada manja, sedikit kesal karena terus kalah.

"Ayo main lagi," balas Angkasa, menahan senyum melihat Ara yang mulai ngambek.

"Males! Kamu nggak mau ngalah sama cewek!" Ara mendesah kesal sambil cemberut.

"Yaudah deh, aku kasih skor aku ke kamu. Jadi sekarang skor kamu empat, dan aku nol. Ayo main lagi," kata Angkasa lembut, berusaha menyenangkan hati Ara.

My Older Cousin √ {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang