ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
Sementara itu, Ara sedang duduk di sofa ruangan, memperhatikan Chika dengan ekspresi bingung. Awalnya Chika terlihat menangis, tapi tiba-tiba wajahnya berubah menjadi senyuman lebar sendiri, membuat Ara merasa aneh.
"Dia udah gila?" ucap Ara pelan, bingung dengan perubahan sikap Chika yang begitu tiba-tiba.
Ara pun menyadarkan Chika. "Ka! Lo kenapa sih?" tanya Ara dengan nada cemas.
"Hah? Emang gue kenapa?" tanya Chika bingung.
"Tadi awalnya lo nangis, eh sekarang malah senyum-senyum gak jelas," ucap Ara, masih merasa aneh dengan sikap Chika.
"Sini," ucap Chika, menyuruh Ara untuk duduk di sampingnya. Chika sedang duduk di kasur.
Ara pun duduk di samping Chika, dan tiba-tiba Chika langsung memeluknya erat. "Gue cuma lagi kangen sama dedek," ucap Chika dengan suara lembut.
"Dedek siapa? Emang di sini ada dedek? Dedek Kitty? Atau dedek Mumuchang?" tanya Ara, bingung dengan apa yang dimaksud Chika.
"Dedek Ara," jawab Chika, dengan senyum tipis di wajahnya.
"Dedek Ara?" tanya Ara, semakin bingung.
"Iya, dedek Ara. Gue kangen sama dedek Ara, tapi sayangnya dia udah gede," ucap Chika sedikit merasa sedih, mengenang masa-masa ketika Ara masih kecil.
"Lo sakit atau gimana Ka?" tanya Ara, masih bingung dengan perubahan sikap Chika.
"Atau lo abis diputusin ya? Makanya lo gini, gila" ucap Ara asal-asalan, mencoba menebak.
"Gue gak sakit ataupun habis diputusin," jawab Chika, mencoba tersenyum meski ada kesedihan di matanya.
Chika melepas pelukannya, lalu menangkup wajah Ara dengan lembut. "Gue cuma kangen sama dedek Ara. Gue kangen waktu lo masih sering nyebut nama gue pas lo gak bisa ngelakuin sesuatu," bisik Chika pelan, seolah mengenang momen-momen itu.
"Lo tau Ra," lanjut Chika dengan suara lebih lembut, "Ara itu nama dari gue."
"Dari lo?" tanya Ara, masih terkejut dengan pengakuan Chika.
"Iya, dari gue. Dan gue nggak nyangka kalau nama 'Ara' masih dipakai sampai sekarang, bahkan lo dikenal dengan nama 'Ara', bukan Zahrana," ucap Chika, pelan tapi penuh perasaan.
"Tapi sebenarnya gue sedih karena lo lebih sayang sama Fiony dibanding gue. Gue yang dulu selalu nungguin kabar baik dari dedek Ara di rumah sakit, bahkan sering begadang cuma buat dengerin kabar dedek Ara, padahal waktu itu gue masih kecil, gak seharusnya gue bergadang. Tapi gue tetep nungguin dedek Ara, selalu ngajak main dedek Ara. Gue yang pertama kali ngeliat dedek Ara, bukan Fiony. Gue yang selalu jagain dedek Ara, bukan Fiony. Kadang gue iri liat Fiony yang disayang sama lo," ucap Chika dengan suara pelan, penuh kesedihan yang terpendam.
"Tapi gue cuma kecewa, bukan benci. Gue nggak bisa benci sama lo," tambah Chika, suaranya terdengar berat, seperti beban yang terlalu lama dipendam.
Chika menghela napas dalam-dalam, matanya menatap kosong ke depan, seolah mencoba merangkai kata-kata yang sulit keluar. Dia berbicara dengan suara yang datar namun penuh makna, seperti sebuah pengakuan yang lama terpendam.
"Lo tau Ra, kadang gue ngerasa kayak nggak dihargain. Dulu gue selalu ada buat lo. Gue yang selalu nungguin lo, selalu jagain lo, bahkan waktu lo di rumah sakit. Gue yang pertama kali ngeliat lo, yang pertama kali ngajak lo main, yang pertama kali ngelindungin lo dari segala hal. Gue yang selalu telpon Tante Shani buat mastiin kalau lo baik-baik aja. Tapi sekarang... gue ngeliat lo lebih deket sama orang lain, sama Fiony. Gue ngeliat lo seneng sama dia, lebih perhatian sama dia."

KAMU SEDANG MEMBACA
My Older Cousin √ {END}
Teen FictionCerita yang mengisahkan hubungan kompleks antara dua sepupu, Ara dan Chika. Dimulai dengan ikatan keluarga yang erat, hubungan mereka perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan rumit. Cerita ini mengeksplorasi emosi yang penuh intensit...