ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
Petir kembali menyambar dengan keras, disertai kilat yang begitu terang. Ara tersentak kaget, refleks memeluk Chika lebih erat dan meremas bajunya dengan kuat. Chika langsung mempererat pelukannya, memberikan rasa aman yang dibutuhkan Ara di tengah ketakutannya.
"Tutup matanya," bisik Chika lembut di telinga Ara. Ara menurut, menutup matanya sambil tetap bersandar di dada Chika. Chika melindungi Ara dengan menutup telinganya, berusaha membuat gadis itu terhindar dari suara petir yang memekakkan.
Tiba-tiba, pintu UKS terbuka. Chika menoleh, dan di sana berdiri Ashel dan Eli yang tampak terkejut melihat mereka.
"Malah mesra-mesraan dia," celetuk Eli sambil menyeringai kecil.
Chika menatap tajam mereka, memberi peringatan tanpa suara.
Ashel menyikut Eli, lalu berbisik, "Mereka bukan mesra-mesraan, Ara kayaknya lagi ketakutan." Ia melirik ke arah Ara yang masih memeluk Chika erat-erat dengan mata tertutup.
"Oh," sahut Eli pelan, menutup mulutnya dengan tangannya, merasa agak bersalah.
Chika memberi isyarat halus pada Ashel agar mereka pergi, karena tahu Eli mungkin tidak akan memahami kode yang terlalu halus. Ashel menangkap maksudnya dan menarik Eli pelan, membiarkan Chika dan Ara tetap berdua dalam ketenangan.
Chika bisa merasakan jantung Ara yang berdegup kencang, bahkan melalui pelukan mereka yang begitu erat. Setiap detak itu terdengar jelas di dadanya, seolah menegaskan betapa takutnya Ara akan suara petir di luar sana.
Dengan lembut, Chika mengusap punggung Ara, mencoba menenangkan degupan yang tak teratur itu. "Gue di sini Ra. Jangan takut," bisiknya, membiarkan suaranya yang tenang menjadi pelipur di tengah kegelisahan Ara.
Ara tidak menjawab, tapi pelukannya semakin erat, seolah takut jika ia melepaskan sedikit saja, semua kenyamanan ini akan hilang. Chika hanya menghela napas pelan, lalu kembali memeluknya lebih erat, memastikan bahwa Ara merasa aman dalam dekapannya.
Chika terus mengelus punggung Ara dengan lembut, berharap Ara bisa lebih tenang. Setelah sekitar satu jam, hujan akhirnya berhenti, dan suara petir pun menghilang. Ara mulai melonggarkan pelukannya, tapi tidak demikian dengan Chika, yang masih memeluknya erat, seolah enggan melepaskan.
Ara membuka matanya perlahan dan mencoba melepaskan diri. Namun, saat ia hendak menarik tubuhnya, Chika langsung menahan.
"Gue minta maaf Ra... tolong maafin gue," bisik Chika, suaranya terdengar penuh penyesalan.
Ara terdiam sejenak, tak segera menjawab. "Lepas," ucapnya akhirnya, suaranya tenang namun tegas.
"Gue nggak mau lepas sebelum lo maafin gue," balas Chika, enggan melonggarkan pelukannya.
Eli tiba-tiba muncul di ambang pintu, menatap mereka dengan tangan terlipat di dada. "Udah kali Chik. Ara aja udah lepasin pelukannya," celetuk Eli sambil menaikkan alis.
"Lo bisa pergi dulu nggak?! Jangan ganggu gue dulu!" bentak Chika, tanpa sadar melonggarkan pelukannya.
"Santai, gue cuma mau ngasih tahu kalau hari ini pulang cepat karena ada rapat guru, lanjutin pelukannya dirumah aja, ini sekolah," ucap Eli dengan nada malas.
Melihat ini adalah kesempatan untuk kabur, Ara segera turun dari ranjang, lalu berlari keluar ruangan secepat mungkin.
"Ck! Gara-gara lo Ara jadi pergi!" ucap Chika, frustrasi.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Older Cousin √ {END}
Teen FictionCerita yang mengisahkan hubungan kompleks antara dua sepupu, Ara dan Chika. Dimulai dengan ikatan keluarga yang erat, hubungan mereka perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan rumit. Cerita ini mengeksplorasi emosi yang penuh intensit...