ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
Ara meringis kesakitan. "Ka, sakit tangan gue," protesnya, mencoba melepaskan cengkeraman Chika.
Namun, Chika tidak mempedulikan keluhan Ara. Dia terus menarik Ara dengan langkah cepat, tak membiarkan siapapun menghalangi mereka.
Chika menarik Ara dengan kasar, langkahnya cepat dan penuh kemarahan. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Chika, hanya napas yang terdengar semakin berat seiring mereka berjalan menuju hotel. Ara sesekali mengeluh kesakitan, tetapi Chika tidak memperdulikan rintihannya. Dua cowok yang mereka tinggalkan di kafe masih terkapar, dan malam yang dingin seolah tidak cukup untuk mendinginkan kepala Chika yang sedang panas.
Sesampainya di depan pintu kamar hotel, Chika berhenti untuk membuka pintu. Setelah mereka masuk, Chika menutup pintu dengan keras dan menatap Ara dengan mata yang sulit diartikan- kombinasi antara kemarahan dan kekecewaan yang mendalam. Ara mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Chika, tapi sepupunya itu masih memegang erat.
"Lepas Ka. Sakit," ucap Ara pelan, menahan nyeri di pergelangan tangannya.
Namun, Chika tidak merespon permintaan Ara. Tatapan dinginnya masih terpaku pada Ara. "Kenapa lo ngobrol sama mereka?" tanya Chika dengan nada datar, namun penuh ancaman.
"Mereka yang tiba-tiba dateng, terus ngajakin ngobrol," jawab Ara, suaranya terdengar sedikit gemetar.
"Dan lo langsung mau? Kenapa gak pergi aja?!" desak Chika, nadanya semakin tajam.
"Mereka asik ngobrolnya," jawab Ara seadanya, mencoba menenangkan situasi.
"Asik? ASIK LO BILANG?!" Chika langsung mendorong Ara ke kasur dengan kasar, membuat tubuh Ara terhempas. Saat Ara mencoba bangkit, Chika langsung menahannya, menekan tubuh Ara ke kasur dengan penuh otoritas. Wajahnya semakin mendekat, dan kemarahan dalam dirinya kini benar-benar meluap.
"Lo bilang asik?!" suara Chika semakin keras. "Lo gak liat apa yang tadi mereka lakuin ke gue?! Bisa aja mereka ngelakuin hal yang lebih buruk ke lo! Apa lo gak mikir?!"
Ara menatap Chika dengan ketakutan. Saat dia mencoba bergerak, Chika langsung duduk di atas pahanya, menahan tubuh Ara dengan kuat, sementara tangannya menggenggam pergelangan tangan Ara, mencegahnya bangkit. Mata Chika penuh dengan obsesi, tatapan yang jauh dari sekadar marah.
"Lo denger baik-baik Ra. Lo gak boleh ngobrol sama orang asing lagi, apalagi cowok!" ucap Chika dengan suara serak, penuh tekanan.
Ara menggertakkan giginya, berusaha tetap tenang meskipun tubuhnya mulai gemetar di bawah tekanan Chika. "Ka, lo terlalu berlebihan. Gue bisa jaga diri gue sendiri!"
"Gue udah bilang, lo jangan main-main sama gue!" Chika semakin menekan pergelangan tangan Ara. "Kalau lo ngelakuin ini lagi, gue bakal lakuin yang lebih parah dari kemarin. Lo inget, kan?"
Ara tersentak, teringat ancaman Chika yang sebelumnya pernah diucapkan. "Ka... gue sepupu lo," ucapnya pelan, berharap bisa menyadarkan Chika.
Namun, Chika justru semakin mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Ara. "Gue gak peduli," bisik Chika dengan nada penuh penekanan. "Lo cuma buat gue Ara. Gue gak bakal biarin siapa pun ngambil lo dari gue."
Ara terdiam, jantungnya berdegup kencang.
"Ka..." ucap Ara dengan suara bergetar, matanya mulai berkaca-kaca, menatap Chika dengan campuran perasaan bingung dan takut. Tangannya masih terjerat di genggaman Chika yang semakin kuat, dan tubuhnya terasa kaku di bawah tekanan sepupunya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Older Cousin √ {END}
Dla nastolatkówCerita yang mengisahkan hubungan kompleks antara dua sepupu, Ara dan Chika. Dimulai dengan ikatan keluarga yang erat, hubungan mereka perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan rumit. Cerita ini mengeksplorasi emosi yang penuh intensit...