Keesokan harinya, bel masuk berbunyi nyaring, menandakan jam pelajaran dimulai. Namun, kelas Ara tampak sepi tanpa kehadiran guru. Sebagai gantinya, Chika diminta untuk mengisi kelas tersebut. Merasa kurang nyaman sendirian, Chika memutuskan mengajak Ashel menemaninya.
"Terus gue gimana dong?!" protes Eli ketika tahu ia tidak diajak.
"Lo sama Andra aja," jawab Chika santai.
Eli membelalak. "Serius lo?"
Chika mengangguk kecil. "Iya. Toh gak ada pilihan lain, kan?"
Eli mendadak tersipu. "Eh, gapapa deh. Sekali-kali gitu, sama calon pacar sendiri, hehehe."
Chika hanya menggelengkan kepala, malas menanggapi. "Yaudah, gue cabut dulu sama Ashel."
Chika dan Ashel pun berjalan menuju kelas Ara. Di sepanjang koridor, suasana terasa sedikit canggung hingga Ashel akhirnya membuka percakapan.
"Jadi, gimana perasaan lo?" tanyanya dengan nada datar.
"Maksud lo?" Chika menoleh, bingung.
"Asli deh. Jangan pura-pura lupa, Chik. Maksud gue, gimana perasaan lo setelah tau foto Ara itu cuma hoaks?" Ashel menjelaskan dengan nada serius.
Chika menghela napas panjang. "Gue... gak tau, Shel. Gue udah nyakitin dia banget."
Ashel menghentikan langkahnya dan menatap Chika lekat-lekat. "Terus, lo udah minta maaf?"
"Udah. Tapi dia gak maafin gue." Nada suara Chika terdengar getir.
"Gue udah bilang dari awal, Chik. Lo jangan gampang percaya sama omongan orang. Belum tentu semuanya bener," tegur Ashel dengan nada sedikit kesal.
"Gue bodoh banget, Shel," bisik Chika, menundukkan kepala.
Ashel mengangkat bahu. "Yah, emang sih. Bodoh, bego, tolol."
Chika hanya bisa terdiam mendengar respons datar itu.
"Terus sekarang lo mau gimana?" tanya Ashel lagi, mencoba memecah keheningan.
"Buat sekarang, gue kasih dia ruang dulu. Gue gak mau maksain apa-apa," jawab Chika lirih.
"Bagus deh kalau lo sadar. Tapi jangan kelamaan ya. Dia juga gak bakal nunggu lo selamanya," ujar Ashel sebelum mereka melanjutkan langkah ke dalam kelas Ara.
"Denger-denger dari siswa lain, katanya yang nyebar foto hoaks itu udah dikeluarin dari sekolah," ucap Ashel.
"Bagus lah," jawab Chika.
Sesampainya di depan kelas Ara, Chika dan Ashel berhenti sejenak. Pintu kelas terlihat tertutup rapat, tapi suara keributan terdengar jelas dari dalam. Tawa, obrolan, bahkan langkah kaki yang berlarian membuat suasana kelas terasa kacau.
Saat Ashel hendak membuka pintu, Chika dengan sigap menahannya.
"Kenapa lagi?" tanya Ashel sambil melirik heran.
"Sebentar," ucap Chika pelan, sambil mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. "Gue belum siap."
Ashel mendesah kesal. "Lama banget lo, Chik."
"Udah, lo aja duluan yang masuk," pinta Chika sambil menggeser sedikit tubuhnya.
"Yaelah," gumam Ashel, tapi tetap menurut. Ia membuka pintu kelas perlahan dan melangkah masuk.
Begitu pintu terbuka, suasana kelas yang tadinya penuh keributan mendadak hening. Anak-anak yang sebelumnya asyik mengobrol, bermain, dan berlarian langsung berhenti. Tanpa perlu ada peringatan, mereka buru-buru kembali ke tempat duduk masing-masing, seolah tak ingin membuat masalah.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Older Cousin √ {END}
JugendliteraturCerita yang mengisahkan hubungan kompleks antara dua sepupu, Ara dan Chika. Dimulai dengan ikatan keluarga yang erat, hubungan mereka perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan rumit. Cerita ini mengeksplorasi emosi yang penuh intensit...