MOC 87

445 67 4
                                    

ᅠᅠ





ᅠᅠ





ᅠᅠ





ᅠᅠ





ᅠᅠ







Di UKS, Mira dengan hati-hati membersihkan luka di tangan Ara. Ia mengambil kapas dan antiseptik, lalu mulai mengusap luka kecil yang mengeluarkan darah perlahan.

"Sakit nggak, Ra?" tanya Mira lembut.

Ara menggeleng, meskipun rasa perih menusuk kulitnya. "Nggak terlalu," jawabnya, mencoba terlihat biasa saja.

Setelah selesai membersihkan luka, Mira mengoleskan salep dan membalutnya dengan perban tipis. "Tadi lo kenapa bisa sampai nggak sadar ada paku?" tanyanya, mencoba membuka percakapan.

Ara terdiam, matanya tertuju pada perban di tangannya, tapi pikirannya masih terganggu oleh kejadian kemarin.

"Mir, gimana menurut lo kalau gue mabuk-mabukan?" tanya Ara tiba-tiba, suaranya ragu-ragu.

Mira menatap Ara dengan ekspresi terkejut. "Nggak mungkin sih. Senakal-nakalnya lo, gue yakin lo nggak bakal mabuk-mabukan," jawabnya tegas.

"Kenakalan lo paling parah juga cuma balapan, kan? Sama maling buah," tambah Mira sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.

Ara mengangguk pelan, tapi kegelisahan di wajahnya tetap terlihat. "Kemarin ada orang yang kirim foto," katanya lirih. "Katanya gue ciuman, pelukan sama cowok, bahkan ada foto gue mabuk-mabukan. Padahal gue nggak pernah ngelakuin itu, Mir."

Mira mengerutkan keningnya. "Hah? Serius?"

Ara mengangguk. "Yang lebih parahnya, dia juga kirim fotonya ke Kak Chika... dan Kak Chika percaya," lanjutnya.

Mata Mira melebar. "Kok bisa gitu?"

"Gue juga nggak tahu, Mir." Ara menghembuskan napas panjang. "Fotonya agak burem, tapi ceweknya mirip banget sama gue. Kak Chika langsung percaya tanpa nanya gue dulu."

Mira menatap Ara dalam diam, membaca ekspresi sahabatnya. "Lo nggak pernah ngelakuin itu, kan?" tanyanya memastikan.

Ara menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Nggak, Mir. Gue nggak pernah ciuman sama cowok, gue nggak pernah pelukan sama cowok selain Papa gue. Gue nggak pernah mabuk-mabukan."

Mira mengangguk, mencoba meyakinkan Ara. "Yang penting lo nggak ngelakuin itu, Ra. Gue percaya sama lo," katanya tulus, lalu menarik Ara ke dalam pelukan.

Saat itu, suara seseorang terdengar dari pintu. "Ekhm..."

Mira langsung menoleh. Ternyata Chika, berdiri di ambang pintu sambil membawa sebuah kotak makan.

Mira merasa canggung dan ingin melepas pelukannya, tetapi Ara justru semakin mengeratkan pelukannya.

"Ada Kak Chika, kan?" bisik Ara.

Mira mengangguk.

"Suruh pergi," bisik Ara lagi, suaranya sedikit panik.

"Gimana caranya jir?" Mira balik berbisik, bingung.

"Terserah."

Mira menarik napas dalam-dalam dan mencoba berbicara. "Emm... itu Kak... ini..." Tapi kata-katanya terhenti karena bingung harus bilang apa.

Chika menghela napas. "Saya tahu maksud kamu," katanya datar, lalu berjalan masuk dan meletakkan kotak makan di meja. "Saya ke sini cuma mau kasih makan buat Ara."

Mira sedikit tersentak dan melepaskan pelukan Ara. "Lepas dulu, Ra," katanya pelan.

Ara menggeleng, tetap bertahan dalam pelukan Mira.

My Older Cousin √ {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang