MOC 90

382 69 4
                                    

Selama jam sekolah, tatapan sinis dan bisikan terus menghantui Ara. Ia berusaha tegar, tapi setiap langkah terasa berat. Saat jam pulang tiba, ia berjalan cepat menuju motornya, berharap bisa segera meninggalkan semua ini.

Namun, langkahnya terhenti saat Chika tiba-tiba muncul di depannya, wajahnya penuh amarah.

"Ra, gue kecewa sama lo! Gue malu!" bentaknya tajam.

Ara menatap kosong, hatinya sudah terlalu hancur. "Lo percaya sama foto itu? Terserah. Lo kecewa? Gue juga. Lo benci gue? Gapapa. Gue juga benci diri gue sendiri," suaranya lirih, nyaris berbisik.

Chika mendekat, tatapannya dingin. "Mungkin kalau lo gak lahir dan gak bikin masalah, gue gak bakal se-malu ini."

Ara terdiam. Kata-kata itu menamparnya lebih keras dari apa pun. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan motor. "Lo bener, Ka. Seharusnya gue gak lahir," bisiknya sebelum melaju kencang, meninggalkan semuanya.ᅠᅠ








ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ







"Mampus lo, Ra! Itu akibatnya kalau lo dekat-dekat sama Angkasa. Gue gak suka lo deket sama Angkasa."ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ



ᅠᅠ




Ara melaju tanpa arah, meninggalkan semuanya. Hujan turun, menyamarkan air mata yang tak lagi bisa ia tahan. Kata-kata Chika terus terngiang di kepalanya, menusuk lebih dalam setiap kali ia mengingatnya.

Di tengah perjalanan, Ara menepi di bawah pohon besar, menatap kosong ke jalanan yang basah. "Gue cuma beban," batinnya. Tak ada tempat untuknya. Tak ada yang peduli.

Dengan napas berat, ia kembali melaju, tanpa tujuan, hingga akhirnya berhenti di pinggir jembatan. Hujan makin deras, seiring dengan luka di hatinya yang semakin menganga.

Ponselnya berdering. Nama Chika muncul di layar. Ara menatapnya lama, hatinya berperang antara harapan dan rasa sakit. Namun, amarahnya menang.

Tanpa ragu, ia melempar ponselnya ke sungai. Bunyi percikan air mengiringi perasaannya yang semakin hancur. "Gue benci ini. Gue benci lo," bisiknya, sebelum kembali menatap kehampaan yang kini sepenuhnya menelannya.

Ara berdiri mematung, menatap sungai yang semakin gelap di bawah hujan deras. Setiap tetes air yang jatuh terasa seperti beban yang menghimpitnya, membuat dadanya semakin sesak. Ia tidak tahu harus ke mana, tidak tahu harus berbuat apa. Yang ia tahu, semuanya terasa begitu menyakitkan.

Jari-jarinya menggenggam erat jaketnya, mencoba menahan diri agar tidak semakin tenggelam dalam kesedihan. Tapi kehampaan itu sudah terlalu dalam, dan ia terlalu lelah untuk menangis. Terlalu lelah untuk mencari jawaban yang tak pernah ia temukan.

Akhirnya, dengan langkah gontai, Ara kembali ke motornya. Ia tidak ingin pulang, tidak ingin bertemu Chika—tidak sekarang. Rasa sakit itu masih terlalu nyata, dan ia butuh waktu untuk menjauh.

Mesin motor menyala, meraung di tengah sunyi. Tanpa tujuan, Ara kembali melaju, menembus hujan yang semakin deras. Malam itu, dunia terasa begitu gelap, seolah hanya menyisakan dirinya yang tersesat dalam kesepian.

Ara terus melaju, jalanan basah membuat pandangannya kabur. Lampu motor menyala, tapi dunia di sekelilingnya tetap terasa samar. Pikirannya penuh dengan keraguan, sementara suara hujan yang menghantam aspal terasa seperti gema di hatinya.

Kata-kata Chika terus berputar di kepalanya. "Mungkin kalau lo nggak lahir, gue nggak akan se-malu ini." Ara menggigit bibirnya, mencoba menepis suara itu, tapi semakin ia berusaha, semakin dalam luka yang terasa.

Motor yang dikendarainya sedikit goyah. Ia menekan rem, menghentikan laju kendaraannya di tepi jalan yang sepi. Nafasnya berat, tubuhnya lelah, dan pikirannya semakin kacau. Ia ingin pulang, tapi ke mana? Ke rumah? Ke Mira? Tidak, ia tidak ingin menjadi beban.

Hujan semakin deras, menutupi suara lirihnya. "Gue nggak punya tempat lagi."

Setelah beberapa saat terdiam, Ara kembali menyalakan motor, melaju tanpa arah. Hingga akhirnya, tanpa sadar, ia sampai di sebuah tempat asing—jalan sepi dengan deretan lampu redup. Ia menepi, duduk di trotoar, membiarkan hujan membasahi tubuhnya.

Ia merasa kosong. Tidak ada tempat untuk pulang. Tidak ada orang yang bisa ia tuju.

Namun tiba-tiba, sebuah bayangan berdiri di sampingnya, seseorang yang menutupi tubuhnya dengan payung.

"Kamu ngapain di sini? Ini jauh banget dari rumah kamu."

Ara menoleh, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia melihat seseorang yang tidak ia duga akan menemukannya di sini.
ᅠᅠ






ᅠᅠ






ᅠᅠ






ᅠᅠ






ᅠᅠ







My Older Cousin √ {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang