Chapter 10: Destiny

3 1 0
                                    

Sir Galen mengikuti Duke Alaric dengan langkah tenang, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Mereka berjalan melalui halaman luas yang dihiasi dengan taman-taman rapi dan air mancur yang mengalir lembut, menambah kemegahan kediaman Duke Alaric. Rumah itu sendiri begitu indah, dengan arsitektur megah yang memancarkan kekayaan dan status sosial tinggi keluarga tersebut. Setiap sudutnya dipenuhi ornamen-ornamen artistik dan barang-barang berharga yang mempertegas kemewahan rumah ini.

Mereka memasuki kediaman besar itu, dan Sir Galen tak dapat menahan diri untuk mengamati dengan saksama. Interior rumah ini tak kalah megah dari eksteriornya, dipenuhi dengan lukisan-lukisan klasik, patung-patung marmer, serta permadani-permadani halus yang menghiasi lantai. Semua terasa seperti sebuah dunia lain, jauh berbeda dengan dunia luar yang lebih keras dan penuh pertempuran.

Saat mereka tiba di depan sebuah kamar pribadi yang terletak di sayap rumah, Duke Alaric berhenti dan memberi isyarat kepada Galen. "Tunggu sebentar, Sir Galen," ujarnya sambil memberi isyarat agar Galen menunggu di luar. Galen mengangguk, menunggu dengan sabar sambil menyadari ketegangan yang mulai mengisi ruang di antara mereka.

Tak lama setelah itu, Duke Alaric keluar dari kamar dan menatapnya dengan ekspresi yang tak terbaca. "Emy dapat ditemui sekarang," kata Duke Alaric, memberi sinyal bahwa saat pertemuan yang tak terelakkan itu akhirnya tiba.

Tanpa ragu, Sir Galen melangkah masuk. Begitu pintu kamar terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok wanita muda yang duduk dengan anggun di dekat jendela. Wanita itu berparas cantik, dengan kulit halus yang terlihat begitu sempurna, seolah tidak ada cela. Rambut pirangnya yang terikat rapi dalam sebuah sanggul kecil semakin mempertegas kesan elegan yang terpancar dari dirinya. Wajahnya yang lembut namun penuh kecantikan alami membuat Galen terdiam sejenak, meskipun seharusnya ia sudah siap menghadapi situasi ini.

Wanita itu menatapnya dengan ekspresi yang tenang, seolah sudah mengetahui kedatangan Sir Galen. Sir Galen tetap berdiri diam, matanya terpaku pada sosok Emy yang cantik. Sosok wanita itu terasa begitu kontras dengan dunia keras yang biasa ia hadapi, seperti sebuah oase di tengah gurun. Emy, dengan senyumannya yang memikat dan tatapan mata yang penuh misteri, tampaknya menikmati momen tersebut, memperhatikan reaksi Galen yang tampak terhanyut dalam keheningan.

Tawa lirih Emy terdengar lembut, namun cukup untuk memecahkan kebekuan di antara mereka. Senyumannya yang ringan itu hanya membuat wajahnya semakin mempesona, seakan memikat Galen lebih dalam.

"Apa kau hanya datang untuk melihat dengan diam saja?" godanya, suaranya lembut namun penuh kepercayaan diri.

Kata-kata itu langsung mengusir keheningan yang semula menyelimuti Galen. Ia tersenyum tipis, dan akhirnya membuka mulut untuk merespons, suaranya rendah dan menggoda. "Hal yang membuatku tidak berkutik hanyalah kekalahan—dan pertama kali melihat dirimu," jawabnya sambil menatap Emy dengan intensitas yang tak biasa. "Tetapi kekalahan belum pernah kurasakan."

Galen melemparkan senyum penuh percaya diri, seolah menantang Emy dengan kata-katanya yang penuh makna, sekaligus memperlihatkan sisi dirinya yang tidak mudah ditundukkan.

"Ayahanda bilang kamu ingin bertemu denganku?" tanya Emy dengan nada ringan, tatapannya penuh rasa ingin tahu.

"Ya, tentu saja," jawab Sir Galen dengan senyum tipis. "Aku ingin bertemu dengan wanita yang kelak akan menjadi belahan jiwaku."

Keduanya tertawa, tawa mereka mengalir lepas, seolah takdir telah menenun benang-benang kehidupan mereka untuk bertemu dan bersama. Ada sesuatu yang tak terucapkan dalam tawa itu—sebuah pengertian diam-diam bahwa pertemuan ini bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian dari perjalanan yang lebih besar.

Hari-hari pun berlalu, dan dalam setiap detiknya, ikatan di antara mereka semakin erat. Mereka menghabiskan waktu bersama, berbicara, tertawa, dan saling mengenal lebih dalam. Setiap pertemuan mereka dipenuhi momen-momen yang semakin memperdalam perasaan, seperti saat Sir Galen dengan bangga menunjukkan keterampilan berpedangnya kepada Emy, dengan gerakan yang anggun namun mematikan, yang membuat Emy terpesona oleh ketangkasan dan karismanya.

Dark and light: The Untouchable and the Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang