Hari-hari terus berlalu, membawa Erin semakin jauh ke jurang kelemahan. Tubuhnya yang dulu sehat dan anggun kini terlihat ringkih, kulitnya semakin pucat dan tulang-tulangnya mencuat jelas di bawah lapisan yang semakin tipis. Malam itu, di bawah cahaya redup bulan yang mengintip dari celah-celah jerami, Erin terengah-engah, napasnya berat, seperti sedang berlomba dengan waktu yang tak pernah berpihak.
Di sisinya, Arslanian duduk bersimpuh. Air mata mengalir di wajahnya yang biasanya dingin, tapi malam ini penuh dengan kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menggenggam tangan ibunya yang dingin, mencoba memberikan kehangatan yang tak pernah cukup.
“Arslanian,” Erin berbisik pelan, suaranya selembut angin malam.
Arslanian menoleh, matanya bertemu dengan tatapan ibunya yang penuh kasih meski lemah.
“Ibu ingin kamu menjadi lebih kuat dari siapapun,” lanjut Erin, senyuman kecil terlukis di bibirnya yang pucat.
Arslanian menggenggam tangan ibunya lebih erat. Ia, yang biasanya hanya diam, kini tak mampu membiarkan kata-kata ibunya berlalu tanpa jawaban. “Ibu, aku berjanji. Aku akan menjadi lebih kuat. Aku akan melindungi ibu... dan segalanya.” Suaranya pecah, tetapi tekad di matanya jelas terlihat.
Erin tersenyum mendengar janji anaknya. Tapi di balik senyum itu, ada kesedihan yang mendalam. Ia tahu, waktunya semakin dekat.
“Arslanian,” ia berkata lagi, kali ini suaranya bergetar. “Ada sesuatu yang ibu ingin sampaikan. Maafkan ibu... karena telah menutupi semua ini darimu.”
Arslanian terdiam, bingung. Ia menganggap ibunya tak pernah menyembunyikan apapun darinya.
“Maafkan ibu... karena menyeretmu dalam kegelapan ini. Maafkan ibu karena melahirkanmu dengan status ini. Tapi, percayalah, Nak... ibu sangat bahagia saat melahirkanmu. Ibu sangat bahagia saat pertama kali melihat tubuh mungilmu... saat pertama kali menggendongmu. Kau adalah cahaya ibu di tengah gelapnya dunia ini.”
“Ibu…” Arslanian hanya mampu memanggil ibunya, suaranya tercekik oleh emosi.
“Tapi…” Erin menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. “Ibu tidak akan bisa melihatmu tumbuh menjadi pria dewasa. Maafkan ibu, Nak.”
"Tidak, Ibu!" seru Arslanian, mengguncang tubuh ibunya dengan lembut. "Ibu pasti akan kembali sehat. Aku akan ke tempat Pak Albe untuk mencari bantuan!"
Ia hendak berdiri, tetapi tangan Erin yang lemah menahannya. Sentuhan itu lembut, tetapi cukup untuk menghentikan langkahnya.
“Tidak perlu, Nak,” bisik Erin dengan senyuman kecil.
“Tapi, Ibu…”
Erin menarik napas panjang, mempersiapkan diri untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini ia simpan. “Sebenarnya, ada sesuatu yang selalu ibu ingin katakan. Tapi ibu merasa kamu belum cukup dewasa untuk menerimanya. Kini... ibu yakin, kamu siap.”
Arslanian menatap ibunya dengan tatapan serius. Ia tahu, ini bukan hal biasa.
“Selama ini... ayahmu adalah seorang ksatria terhormat,” Erin berkata pelan, suaranya serak. “Ayahmu adalah Sir Galen.”
Arslanian tertegun. Kata-kata itu menghantamnya seperti petir di siang bolong. Sir Galen, ksatria yang sering ia lihat berlatih bersama Gareth, sosok yang ia kagumi diam-diam, ternyata adalah ayahnya.
“Ibu...” suaranya bergetar, penuh campuran emosi antara kebingungan, keterkejutan, dan kebanggaan yang sulit dijelaskan.
Erin mencoba menggapai wajah anaknya, menariknya lebih dekat. “Maafkan ibu, Nak. Maafkan ibu karena baru memberitahumu sekarang.” Air mata mengalir di pipinya, tetapi ada ketenangan di dalam dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dark and light: The Untouchable and the Ghost
ActionTiga tahun setelah Perang Empat Puncak yang mengubah takdirnya, Gareth, ksatria terhormat dari kerajaan Aryllie, kini dikenal dengan gelar The Untouchable. Keberaniannya yang luar biasa dalam menghadapi 600 ksatria dari tiga kerajaan sendirian menja...