"Permata itu," suara Arslanian terdengar dingin, seperti angin tajam yang memotong keheningan, "dari mana kau mendapatkannya?"
Jabul tersenyum sopan, tangannya menyentuh liontin yang menggantung di dadanya. "Ah, ini? Permata ini hanyalah peninggalan keluarga, Tuan. Tidak ada yang spesial darinya."
Tatapan Arslanian semakin tajam, menusuk langsung ke mata Jabul. Jawaban itu tidak memuaskannya. Ia tahu lebih banyak daripada apa yang dikatakan pria di depannya.
"Ngomong-ngomong," Jabul mencoba mengalihkan pembicaraan dengan senyuman yang mulai memudar, "apakah Tuan jadi untuk memesan kamar di sini?"
"Tidak." Suara Arslanian penuh ketegasan. "Yang kuinginkan hanyalah cerita tentang permata itu."
Jabul tampak terkejut dengan intensitas Arslanian. Ada sesuatu dalam cara pria muda ini berbicara yang membuat hawa ruangan berubah dingin. Namun, ia mencoba menjaga sikapnya tetap tenang. "Seperti yang sudah saya katakan, Tuan, permata ini hanyalah—"
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, cahaya logam berkilat di udara. Pedang Arslanian sudah berada tepat di lehernya, membuat Jabul terdiam membeku. Suara terengah-engah terdengar dari para tamu dan staf penginapan. Penjaga-penjaga di ruangan itu langsung siaga, menghunus senjata mereka dengan gerakan panik.
"Tunggu! Ada apa ini?" tanya Jabul, suaranya bergetar meski ia berusaha keras untuk tetap tenang. Keringat mulai membasahi dahinya.
"Ceritakan semuanya," ujar Arslanian tegas, suaranya penuh tekanan. Mata hitamnya seperti jurang yang tak berdasar. "Mengenai permata itu... dan seseorang bernama Erin."
Mendengar nama itu, Jabul terpaku. Wajahnya yang sebelumnya tenang langsung berubah pucat, matanya melebar seolah ia baru saja melihat bayangan hantu yang paling mengerikan. Nama itu menghantamnya seperti petir di tengah badai.
"Aku... aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," katanya terbata-bata, meskipun jelas dari ekspresinya bahwa ia tahu persis siapa Erin.
"Kau tahu," desis Arslanian, pedangnya semakin mendekat ke kulit Jabul. "Kau tahu betul siapa Erin. Dan kau tahu apa yang terjadi pada dirinya. Jangan coba-coba berbohong kepadaku."
Ketegangan memenuhi ruangan. Penjaga-penjaga yang ada tampak ragu, takut membuat gerakan yang salah. Sementara itu, Jabul terlihat semakin terdesak, seperti seekor binatang yang terjebak di sudut ruangan.
"Erin..." Jabul akhirnya mengucapkan nama itu, suaranya hampir tak terdengar. "Dia... dia adalah anakku."
Ruangan yang sudah tegang kini terasa seperti berhenti sepenuhnya. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Hanya keheningan yang menusuk.
"Dan kau menumbalkan dia," ujar Arslanian dengan suara yang tajam dan penuh kemarahan. "Kau menjual darah dagingmu sendiri untuk mendapatkan permata itu."
Jabul tidak bisa berkata apa-apa. Matanya terpejam, seolah mencoba melarikan diri dari kenyataan yang menghantuinya. Namun, di depan Arslanian, tidak ada tempat untuk bersembunyi.
"S-Siapa kau sebenarnya? Apa maumu? Apa hubunganmu dengan Erin?" Jabul bertanya dengan suara bergetar, matanya menatap Arslanian dengan campuran ketakutan dan kebingungan.
Arslanian menyeringai dingin. "Aku? Jika kau ingin tahu..." Dia menurunkan pedangnya sedikit, lalu melanjutkan dengan nada menusuk, "Aku adalah putra Erin. Cucumu!"
Mata Jabul membelalak, tubuhnya gemetar mendengar pengakuan itu. "T-Tidak mungkin! Erin... dia seharusnya sudah tewas. Jika pun tidak, para warga Aphorise pasti sudah mengusir atau membunuhnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dark and light: The Untouchable and the Ghost
ActionTiga tahun setelah Perang Empat Puncak yang mengubah takdirnya, Gareth, ksatria terhormat dari kerajaan Aryllie, kini dikenal dengan gelar The Untouchable. Keberaniannya yang luar biasa dalam menghadapi 600 ksatria dari tiga kerajaan sendirian menja...