Chapter 13: The Undeniable

5 0 0
                                    

Ruangan itu berubah menjadi sunyi senyap, seolah semua suara telah tersedot keluar oleh pengakuan Erin. Wajah-wajah di meja makan membeku dalam berbagai ekspresi keterkejutan, tetapi di antaranya, Emy terlihat paling hancur. Air mata mulai mengalir di pipinya, menggambarkan rasa dikhianati yang begitu dalam. Tangis lirihnya bergema di ruangan yang kini dipenuhi ketegangan. 

Di seberang meja, Galen masih diam terpaku, tak mampu berkata apa-apa. Rasa bersalah dan ketakutan membekukan tubuhnya, seolah waktu berhenti baginya. 

Namun, suasana itu tak bertahan lama. Duke Alaric, yang dipenuhi amarah, mendadak bangkit dari kursinya dengan suara menggelegar, memecah keheningan yang mencekam. 

“Dasar budak tidak tahu diri!” teriaknya dengan penuh kemarahan. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Erin yang masih berdiam diri, dan tanpa peringatan, tangannya melayang keras menampar pipi gadis itu. Suara tamparan itu menggema, membuat Emy yang sedang menangis tersentak kaget. 

“Penjaga! Cepat bawa keluar budak biadab satu ini!” perintah Duke Alaric dengan suara penuh wibawa yang tak terbantahkan. 

Erin tetap di tempatnya, tak melawan. Air mata terus mengalir di wajahnya yang kini merah karena tamparan. Di sela isaknya, dia menatap Emy, yang merupakan majikannya sekaligus temannya. Ada kehangatan dan rasa hormat dalam tatapannya meski telah ternoda oleh tragedi ini. 

“Emy... maafkan aku,” bisiknya lirih, suaranya penuh kepedihan yang menyayat hati. 

Emy tidak menjawab. Ia hanya duduk dengan tubuh yang bergetar, air matanya semakin deras. Pandangannya menembus Erin, seolah ia tak lagi mengenali wanita yang selama ini begitu dekat dengannya. 

Tak lama kemudian, para penjaga rumah bangsawan berlari masuk ke dalam ruangan, memenuhi perintah Duke Alaric. Mereka segera meraih Erin, menariknya dari lantai dengan kasar. Gadis itu tidak melawan sedikit pun. Ia hanya mengikuti mereka dengan langkah berat, menerima konsekuensi atas pengakuannya yang menghancurkan. 

Saat Erin diseret keluar, suara tangisnya mereda, berganti dengan keheningan yang lebih menusuk. Di ruang makan itu, suasana yang tadi penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan telah musnah sepenuhnya. Yang tersisa hanyalah kesunyian dan kehancuran. 

Emy terus menangis, wajahnya menunduk dalam pelukan kedua tangannya. Sementara itu, Galen tetap membisu, matanya kosong, seolah semua ini hanya mimpi buruk yang ingin segera berakhir. Duke Alaric kembali ke kursinya, wajahnya masih memerah oleh kemarahan, tetapi ia tetap menjaga sikap yang mengintimidasi. 

Di luar, langkah-langkah Erin yang diseret penjaga terdengar semakin menjauh. Keheningan pun kembali menyelimuti rumah besar itu, meninggalkan luka yang tak akan mudah sembuh.

Erin terpuruk di lantai lumbung padi, tubuhnya yang lemah bersandar pada dinding kayu yang dingin. Tangisannya semakin tak terkendali, menggema di ruang kosong tempat ia biasa bekerja dan tinggal. Air matanya jatuh tanpa henti, membasahi pakaian dan lantai tempat ia duduk. Sementara malam semakin larut, rasa sakit dan kepedihan terus menguasai dirinya. 

“Kenapa semua ini terjadi...” bisiknya pelan, suara itu nyaris tenggelam dalam isak tangisnya. Ia memeluk dirinya sendiri, seolah mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah keputusasaan yang menghantui. 

Di sisi lain, di kamar utama, Emy terisak dalam diam. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang kosong ke arah jendela yang hanya memantulkan kegelapan malam. Air mata terus mengalir di wajahnya, meski ia berusaha menahannya. Hatinya terasa remuk, seolah hubungan dekatnya dengan Erin telah tercoreng oleh kenyataan pahit yang baru saja terungkap. 

Ingatan-ingatan kebersamaan mereka berdua kembali menghantui. Saat Erin membantunya dengan setia, saat tawa mereka memenuhi rumah, dan saat Erin menjadi orang pertama yang selalu ada di sisinya. Kenangan itu kini menjadi pisau yang menusuk hati Emy lebih dalam. 

Dark and light: The Untouchable and the Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang