•273•
Enam tahun telah berlalu sejak pemberontakan pertama yang dipimpin oleh Dominico. Waktu yang panjang itu telah membawa mereka dari sekumpulan anak-anak tak berdaya menjadi bajak laut paling ditakuti di perairan lepas. Selama itu pula, Arslanian berlayar bersama Dominico, menyaksikan kapal demi kapal runtuh di bawah bendera hitam mereka. Nama Bajak Laut Dominico kini diucapkan dengan gemetar oleh lawan dan dihormati oleh sesama bajak laut. Namun, di balik kejayaan itu, ada kehampaan yang tak terlihat, terutama pada Arslanian.
Pada suatu siang yang mencekam, suara pertempuran kembali memenuhi perairan terbuka. Benturan pedang bergema di antara deru ombak dan jeritan para korban. Kapal Bajak Laut Dominico bertarung dengan kelompok bajak laut lain yang berani menantang mereka. Angin asin bercampur bau darah dan mesiu, menebarkan aroma kematian di udara.
Dominico, yang kini telah tumbuh menjadi pria buas dan penuh gairah, menari di medan tempur dengan pedangnya. Setiap sabetan membawa maut; wajahnya dipenuhi senyum seram khasnya. Para kru yang telah lama berjuang bersamanya bertarung dengan semangat membara, mengikuti teladan pemimpin mereka. Namun, berbeda dengan Arslanian. Pemuda itu, meski lebih kuat dan terampil dari mereka semua, bertarung dengan cara yang dingin dan tanpa emosi. Setiap gerakan pedangnya terasa hampa, seolah hanya menjalankan tugas tanpa tujuan. Matanya kosong, tatapannya seperti terpisah dari dunia ini.
Hingga akhirnya, pertempuran berakhir. Bajak laut lawan telah terkikis hampir habis, hanya menyisakan beberapa yang kini tersudut dan tak lagi mampu melawan. Di sudut geladak kapal, Arslanian berhadapan dengan seorang pria yang tubuhnya bergetar ketakutan. Pedang Arslanian terangkat tinggi, siap mengakhiri hidup lawannya seperti biasa. Namun, pria itu tiba-tiba berseru.
“Kau... kau tidak mungkin,” suaranya gemetar, nyaris tak terdengar.
Arslanian menghentikan gerakannya sesaat, menatap dingin ke arah pria itu.
“Mohon, tunggu! Jangan bunuh aku!” pria itu memohon dengan panik, matanya menatap wajah Arslanian penuh keraguan dan keheranan. “Wajahmu... wajahmu mirip dengan seseorang...”
Arslanian mengerutkan dahi, tapi tetap diam.
“Sepupuku,” lanjut pria itu dengan suara yang makin lemah, “Kau... kau mirip sekali dengannya.”
Arslanian terdiam. Kata-kata itu menusuk relung hatinya yang telah lama membatu.
“Apa maksudmu?” suaranya rendah, hampir seperti ancaman.
“Kau... apa kau putranya Erin?” teriak pria itu, suaranya hampir putus asa.
Jantung Arslanian seolah berhenti berdetak. Nama itu—Erin—menggema di benaknya. Nama yang tak pernah ia dengar lagi sejak ibunya tiada. Tangannya yang menggenggam pedang sedikit bergetar.
“Kau mengenal ibuku?” tanyanya dingin, meski suaranya mengguncang dirinya sendiri.
“Y-Ya,” pria itu terbata. “Dia adalah sepupuku, Erin. Dia—dia berasal dari desa Aphorise. Kau berasal dari sana juga.”
“Aphorise?” Arslanian mengulanginya, mencoba mencerna kata itu.
“Desa Aphorise adalah sebuah desa terpencil di sekitar wilayah Aryllie. Jika kau ingin mengetahui segalanya, pergilah ke sana,” ujarnya dengan suara bergetar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dark and light: The Untouchable and the Ghost
ActionTiga tahun setelah Perang Empat Puncak yang mengubah takdirnya, Gareth, ksatria terhormat dari kerajaan Aryllie, kini dikenal dengan gelar The Untouchable. Keberaniannya yang luar biasa dalam menghadapi 600 ksatria dari tiga kerajaan sendirian menja...