Chapter 17: Discipline

3 1 0
                                    

Malam itu begitu sunyi, hanya suara angin yang sesekali berbisik di antara tumpukan padi di lumbung. Di sisi Arslanian, Erin tidur dengan tenang, kelelahan setelah seharian bekerja keras. Namun, mata Arslanian terbuka, menatap langit-langit gelap lumbung. Perlahan, ia bergerak, berusaha agar tidak membangunkan ibunya. Setiap gerakannya hati-hati, seakan sadar bahwa ini adalah rahasia kecilnya yang tak boleh diketahui.

Setelah berhasil keluar tanpa suara, Arslanian berjalan melewati hamparan ladang yang kosong, menuju tempat yang sering menjadi pelariannya—lapangan latihan. Di sana, malam melingkupi segalanya, dan hanya cahaya bulan yang tipis menerangi jalannya.

Di tengah lapangan, Arslanian berdiri diam, memejamkan mata untuk memfokuskan pikirannya. Ia mengingat setiap gerakan yang ia lihat pagi tadi—latihan Geralt bersama Sir Galen. Dalam pikirannya, setiap ayunan pedang, setiap langkah, setiap teknik begitu jelas. Ia mulai dengan pemanasan, mengikuti gerakan yang ia tiru dari mereka. Meskipun tubuhnya kecil dan usianya muda, setiap gerakannya penuh dedikasi dan usaha keras.

Setelah pemanasan, ia mengambil sebatang kayu besar dari tumpukan di dekat lapangan, menjadikannya pedang. Dengan kedua tangannya yang kecil, ia mengayunkan kayu itu seperti seorang pendekar. Gerakannya tajam dan presisi, mencerminkan latihan yang ia lakukan diam-diam setiap malam. Ia berdansa dengan kayu itu di bawah cahaya bulan, tubuhnya bergerak luwes dan penuh semangat, seperti seorang kesatria muda yang sedang menempa dirinya sendiri.

Peluh mulai mengalir di wajahnya, napasnya tersengal-sengal, tapi Arslanian terus berlatih. Dalam setiap ayunan, ada harapan; dalam setiap langkah, ada mimpi. Namun, di sela-sela fokusnya, pikirannya mulai melayang ke hal yang selalu menghantui hatinya—kedekatan Geralt dan Sir Galen. Pemandangan itu begitu jelas di benaknya, seorang ayah yang mendampingi anaknya, mendidik dengan sabar, dan membimbingnya menuju kehebatan.

Arslanian berhenti, menancapkan kayunya ke tanah. Ia berdiri di sana, terpaku, menatap kosong ke depan.

“Mengapa aku tidak memiliki seorang ayah yang membantuku berlatih...” gumamnya pelan. Suaranya hampir tenggelam dalam angin malam. 

Kesepian itu merayap masuk, menggigit hatinya seperti dingin malam yang menusuk kulit. Namun, ia hanya berdiri di sana, menggenggam kayunya erat, berusaha melawan rasa itu. Dalam kegelapan malam, Arslanian berjanji pada dirinya sendiri, "jika tidak ada yang akan melatihku, aku akan melatih diriku sendiri. Jika aku tidak memiliki seseorang untuk membimbingku, aku akan menjadi pemandu bagi diriku sendiri."

Ia menghela napas panjang, memungut kayu itu kembali, dan melanjutkan latihannya—sendirian, dalam heningnya malam, ditemani hanya oleh bintang-bintang yang menyaksikan perjuangan seorang anak dengan mimpi besar.

Malam terus bergulir, ditemani oleh angin yang membawa bisikan alam. Di kejauhan, Sir Galen berdiri di bawah bayangan pohon, memandang ke arah lapangan latihan dengan mata yang tajam namun penuh beban. Ia sering berjalan-jalan di malam hari, mencari ketenangan setelah hari yang melelahkan. Namun, sejak beberapa waktu lalu, rutinitas malamnya berubah—ia menemukan penghiburan dalam mengamati seorang anak yang tengah berlatih sendirian di bawah sinar bulan.

Arslanian. Anak itu.

Sir Galen menyaksikan setiap gerakan yang dilakukan bocah itu dengan penuh perhatian. Ada kekaguman yang muncul dalam hatinya melihat tekad dan disiplin Arslanian, meski ia tahu anak itu berlatih tanpa bimbingan siapa pun. Dalam diam, ia sering merasa seolah melihat bayangan dirinya di masa muda—penuh mimpi, penuh perjuangan. Namun di balik rasa kagumnya, ada luka lama yang selalu kembali menggores hati. 

Arslanian bukan anak sembarangan. Ia tahu rahasia besar yang tak pernah diungkapkan kepada dunia. Arslanian adalah buah dari hubungan terlarangnya dengan Erin, seorang perempuan budak yang ia setubuhi masa lalu. Perasaan bersalah itu terus menghantui Galen, membebani setiap langkahnya. Ia tahu tidak ada yang bisa ia lakukan tanpa menghancurkan segalanya—reputasinya sebagai Ksatria Terhormat, posisinya dalam kerajaan. Jadi ia hanya berdiri dalam diam, menyaksikan dari bayang-bayang, seperti seorang pengecut yang tak mampu menghadapi kenyataan.

Dark and light: The Untouchable and the Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang