Chapter 14: Punishment

2 0 0
                                    

Hari itu tiba. Erin, seorang budak yang kini menjadi tersangka atas tuduhan palsu, dihadapkan pada keputusannya di sebuah pengadilan tertutup. Ruangan itu gelap dan penuh dengan tekanan. Dinding-dindingnya yang tinggi memantulkan setiap suara dengan dingin, menciptakan suasana yang menyesakkan. Di tengah ruangan, Erin bersimpuh di atas lantai batu, kedua lututnya menyentuh tanah yang dingin. Tubuhnya gemetar halus, bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena kesadaran bahwa hidupnya kini sepenuhnya berada di tangan Duke Alaric.

Duke Alaric duduk tegap di kursi tinggi di depannya. Wibawanya memancar seperti bayang-bayang yang menelan ruangan. Sorot matanya tajam, menghakimi, tetapi tidak sepenuhnya tanpa rasa kemanusiaan. Suaranya berat dan penuh kekuasaan ketika ia berbicara. 

"Erin," panggilnya, memecah keheningan. "Tidak kusangka kau berani melakukan hal ceroboh seperti ini." 

Erin menundukkan kepalanya, menolak untuk membalas tatapan tajam itu. Tubuhnya terasa kaku, mulutnya terkunci rapat. 

Duke Alaric melanjutkan, suaranya semakin dingin. "Seharusnya, hukuman untuk seorang budak yang menuduh keluarga bangsawan melakukan hal keji adalah kematian." Ia berhenti, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara, seolah menjadi vonis yang menggema di setiap sudut ruangan. 

Namun, ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, nada suaranya berubah meski tetap tegas. "Tapi… Emy, putriku, memohon agar aku tidak menghukum mati dirimu." 

Erin tersentak. Matanya melebar, menatap sekilas ke arah Duke Alaric sebelum kembali menunduk. Ia tidak menyangka Emy, yang juga menjadi korban dari tuduhannya, masih menunjukkan belas kasih terhadapnya. 

"Berterimakasihlah kepadanya," lanjut Duke Alaric, nadanya kini lebih tenang, meski tidak sepenuhnya lunak. 

Erin membuka mulutnya, tetapi hanya keheningan yang keluar. Hatinya bergolak antara rasa syukur dan rasa bersalah yang menyesakkan. 

"Tetapi," suara Alaric kembali tajam, mengingatkan semua orang bahwa ia masih memegang kendali penuh, "sebagai ganti hukuman mati, kau akan menerima lima puluh kali pecutan." 

Kata-kata itu menghantam Erin seperti palu godam. Tubuhnya terasa lunglai, kepalanya tertunduk lebih dalam. Rasa takut dan putus asa menyelimutinya, melumpuhkan setiap sisa keberanian yang ia miliki. 

Duke Alaric berdiri dari kursinya, memberikan tanda kepada pengawal di dekatnya. "Hukuman akan dilaksanakan sore ini," katanya sebelum berbalik meninggalkan ruangan, mantelnya berkibar ringan di belakangnya. 

Erin tetap di tempatnya, terpaku oleh rasa sakit yang belum datang namun sudah terasa membebani. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hukuman ini akan menjadi awal baru dari penderitaannya, tetapi juga sebuah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia masih bisa bertahan, entah bagaimana caranya.

Erin melangkah keluar dari kediaman keluarga Duke Alaric dengan langkah yang berat. Bukan hanya tubuhnya yang lelah, tetapi juga jiwanya yang terkoyak. Angin sore yang seharusnya membawa ketenangan justru terasa seperti hantaman dingin yang menusuk hingga ke tulang. Beberapa pekerja rumah berhenti dari aktivitas mereka, menatap Erin dengan pandangan penuh kebencian. Bisikan-bisikan menyakitkan terdengar samar, tetapi cukup jelas untuk merobek sisa harga dirinya.

“Dasar budak tak tahu diri.” 
“Dia pantas mendapatkannya.” 

Erin tidak membalas. Pandangannya kosong, hanya sesekali ia mengangkat kepalanya untuk melihat langit yang mulai berubah warna. Di matanya, bahkan langit tampak menolak memberikan penghiburan. 

Saat ia tiba di lumbung, tempat di mana ia biasa bekerja, suasana sepi menyelimuti. Namun, tugas tetaplah tugas. Meskipun hukuman itu tinggal hitungan jam, ia terus bekerja. Jemarinya yang gemetar tetap berusaha menjalankan tugasnya, meski air mata yang tak kunjung berhenti mengalir mengaburkan pandangannya. Setiap gerakan terasa berat, seakan beban emosionalnya mengalir ke otot-otot yang kelelahan. 

Dark and light: The Untouchable and the Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang