Chapter 11: Bonds

4 1 0
                                    

Erin, seperti biasa, menjalani hari-harinya dengan bekerja keras. Namun, ada sesuatu yang berbeda; senyum yang biasanya menghiasi wajahnya kini sirna. Pandangannya kerap kosong, dan gerakannya sedikit lebih lambat dari biasanya. Malam sebelumnya masih membekas di hatinya, meninggalkan perasaan yang berat dan sulit untuk dijelaskan.

Di lumbung padi, Erin merapikan hasil panen dengan telaten. Sesekali, ia pergi ke ladang untuk membantu para pekerja lainnya, dan di waktu senggang, ia juga mencuci pakaian untuk keluarga Duke Alaric. Meski tangannya sibuk, pikirannya terus melayang, berusaha mengabaikan bayangan yang terus menghantuinya.

Saat senja mulai menyelimuti langit, Erin melintas di halaman belakang kediaman Duke Alaric. Langkahnya terhenti ketika suara lembut namun ceria memanggil namanya.

"Erin," sapaan hangat itu berasal dari Emy, yang berdiri dengan anggun di bawah sinar matahari sore.

Erin mengangkat wajahnya, sedikit terkejut namun segera menghampiri dengan langkah ringan namun anggun. "I-Iya, Nyonya Emy," jawabnya dengan nada hormat.

Emy tersenyum lembut, matanya yang cerah menunjukkan ketulusan. "Apa kamu sedang sibuk? Aku ingin meminta bantuanmu untuk menemani ke pasar."

Erin menggigit bibir bawahnya sejenak, bingung bagaimana harus menjawab, tetapi akhirnya berkata, "Aku tidak sibuk, Nyonya."

"Baguslah," ujar Emy dengan gembira. "Kalau begitu, mari kita pergi ke pasar bersama."

Emy menggamit lengan Erin dengan akrab, membawanya menuju pintu gerbang. Meskipun Erin berusaha menunjukkan senyum, bayangan di hatinya tetap tak mau pergi. Namun, kehangatan Emy seakan memberinya sedikit penghiburan, meski hanya untuk sejenak.

“Ngomong-ngomong, kau terlihat murung hari ini. Ada apa?” tanya Emy dengan nada lembut, menatap Erin dengan penuh perhatian. Walau perbedaan status jelas di antara mereka, Emy tidak pernah memandang Erin sebagai pekerja semata, melainkan sebagai seorang teman seusia yang bisa diajak berbagi.

Erin tersentak sejenak oleh perhatian itu. Ia menggelengkan kepala kecil sambil memaksakan senyum. “T-Tidak ada apa-apa, Nyonya. Aku baik-baik saja,” jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan, meskipun ada beban yang sulit ia sembunyikan.

Emy memperhatikan senyum Erin yang terasa berat namun memutuskan untuk tidak memaksanya bercerita. Ia tersenyum kembali, mencoba mencairkan suasana. “Kau tahu,” ujar Emy dengan nada antusias, “menjadi seorang istri itu sangatlah menyenangkan. Aku suka memasak untuk orang yang kucintai. Rasanya seperti memberi mereka bagian terbaik dari diriku.”

Erin hanya diam, mendengarkan cerita Emy. Matanya memandang lurus ke depan, pikirannya melayang di antara cerita Emy dan rahasia kelam yang tak bisa ia bagi. Senyuman Emy yang cerah seperti cahaya di tengah senja, tetapi bagi Erin, cahayanya terasa terlalu jauh untuk digapai.

“Oh, aku hampir lupa!” seru Emy tiba-tiba. “Setelah kita ke toko daging Paman Zack, kita harus mampir ke toko kain. Ada beberapa kain yang ingin kupilih untuk pesta nanti.”

Erin mengangguk patuh. “Baik, Nyonya.”

Mereka terus berjalan menyusuri jalanan kota Center Ring yang mulai terselimuti warna keemasan matahari senja. Di antara hiruk-pikuk pasar yang mulai lengang, langkah keduanya terlihat serasi, meski dunia mereka dipisahkan oleh tembok status.

Percakapan ringan antara mereka sesekali mengalir, membangun suasana akrab yang tampak tulus di permukaan. Namun, di bawah kehangatan sore itu, rahasia kelam tetap menggantung dalam hati Erin, seperti bayangan yang tak mampu ia singkirkan. Rahasia yang, bila terungkap, bisa mengubah segalanya di antara mereka.

Mereka tiba di sebuah toko kain yang terkenal sebagai tempat belanja keluarga bangsawan. Deretan kain indah terpajang dengan rapi, mulai dari satin yang lembut hingga sutra yang memancarkan kemewahan. Setiap sudut toko memancarkan nuansa elegan, seolah menunjukkan status para pelanggannya. 

Dark and light: The Untouchable and the Ghost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang