10.

2.9K 348 21
                                    

"Zoya?"

Christy mengerutkan kening memperhatikan gerak-gerik Zee yang aneh. Dari pandangannya, kembarannya itu seperti diam bengong--atau gugup?

Meski susah digerakkan, tetapi Zee tetap mencoba mengikuti jalannya permainan. Walau jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membasahi keningnya, dan nafasnya tercekat, ia tidak mungkin mendadak keluar dari permainan. Itu akan membuat khawatir semua orang. Zee tidak mau.

Tetapi mau bagaimanapun, hal itu pasti mengganggu performanya. Zee jadi tidak fokus kala bola mendekatinya. Ia malah terkesan bingung sendiri harus berbuat apa.

"Zee kenapa? Dia kayak ga fokus gitu.." Gumam Marsha setelah menyaksikan gerak Zee di lapangan.

Di sebelahnya, Christy sudah lebih dulu khawatir. Dia bisa membaca bahasa tubuh saudara kembarnya itu—ini bukan tentang permainan, ini tentang anxietynya. Apa jangan-jangan hal yang ditakutkan oleh Zee dan dirinya terjadi?

Ia meremas rok abu nya, berpikir. Tidak, itu tidak boleh terjadi. Ia harus melakukan sesuatu agar konsentrasi Zee kembali.

Tapi bagaimana caranya?

"Permisi Neng, mau lewat."

Christy menoleh. Seorang bapak dengan seragam hijau yang sedang menggenggam kantung plastik hitam di tangan kanan--sepertinya petugas kebersihan.

"Oh iya, maaf Pak." Gadis itu mundur, membiarkan bapak itu lewat.

Tetapi pandangannya menangkap sesuatu yang ada di tangan kanan petugas tersebut. Dengan cepat Christy mendapat ide. "Maaf Pak, karton besar ini dipake ga ya?"

Langkah bapak itu terhenti, melihat apa yang ditunjuk Christy. "Oh, karton ini Neng? Engga, ini mau saya buang."

"Jangan dibuang Pak. Buat saya boleh?"

"Boleh, Neng."

Segera setelah mendapat karton putih besar itu, Christy mencari satu barang lagi yang diperlukan. Ia langsung bertanya pada Marsha, "Bawa spidol besar ga?"

Yang ditanya menggeleng. "Buat apa, Chris?"

"Gue mau nyemangatin Zee."

Marsha mengangguk mengerti, kemudian ia membantu dengan bertanya kepada teman-teman sekolahnya yang berada di tribun. Gadis itu berbalik ke belakang. "Ada yang bawa spidol besar ga?"

Rata-rata semua menggeleng, hingga seorang perempuan mengangkat tangan, menyodorkan apa yang dicari. "Aku punya Kak. Nih."

Marsha mengenali adik kelas itu. Salah satu anggota kelompok MOS bimbingannya, Ella. "Aku pinjem dulu ya."

Dengan bermodalkan karton putih, spidol, dan punggung Marsha sebagai papan untuk menulis, Christy akhirnya berhasil membuat tulisan penyemangat itu.

Ia kembali menghadap lapangan, kali ini sambil mengangkat karton putihnya setinggi mungkin.

Christy dan Marsha kemudian mulai meneriaki nama Zee sekencang mungkin, mencoba menarik perhatian. "Zee!"

Sayangnya dua teriakan itu tidak mampu mengalahkan bising dari banyaknya suara lain yang keluar. Apalagi jarak antara tribun mereka yang tinggi dengan lapangan yang di bawah.

Kepala Christy terpaksa harus berpikir lagi. Kalau begini terus, dukungan mereka tidak akan pernah sampai dan Zee bisa-bisa semakin kacau.

Tiba-tiba Marsha menepuk pundaknya. "Chris, gue tau. Kita bareng-bareng nyanyi yel-yel tim aja biar suaranya kenceng dan bisa dapet perhatian semuanya, termasuk Zee."

"Gimana caranya, Sha?" Christy menunjuk ke arah penonton di sekitar mereka. "Temen-temen kita aja keliatan udah pada lesu semua."

Memang benar apa yang dikatakan Christy. Tribun bagian pendukung sekolah mereka terdengar sunyi. Sejak melihat skor yang tertinggal cukup jauh, orang-orang mulai kehabisan harapan. Wajah mereka tampak lesu dan hilang semangat.

Bertaut (ZoyToy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang