13.

2.6K 326 18
                                    

"Kok lesu gitu mukanya?"

Gadis yang ditanya itu menghela nafas panjang, tidak balas menatap.

"Kenapa, hm? Bukannya keadaan jadi semakin baik sekarang? Ada kembaran kamu yang nemenin."

Zee memajukan bibirnya. Ia bingung harus menjelaskan seperti apa. "Justru itu, Dok.."

"Justru itu apanya?"

"Christy makin berkembang. Maksudnya dia emang selalu bagus, tapi aku ga nyangka dia bisa secepet itu majunya.."

"Lalu? Memang kenapa kalau perkembangan dia cepet?"

Ada keheningan selama beberapa detik sebelum Zee menjawab. Ia ragu harus mengatakannya atau tidak.

"Aku takut ketinggalan.."

Akhirnya kata-kata itu bisa keluar dari mulutnya. Feni diam, menunggu gadis itu melanjutkan.

Kedua tangan Zee ditaruh di atas meja dengan posisi terlipat. "Waktu ada kerusuhan kemarin, aku sadar kalau dia bukan lagi anak kecil yang dulu selalu ada di lindungan aku. Sekarang malah dia yang ngelindungin. Rasanya kayak aku ngebebanin dia terus," ucapnya murung.

Feni menggeleng, menyentuh dagu Zee lalu mendongakkannya ke atas. "Hei, kok gitu mikirnya? Kamu bukan beban, sayang. Kamu sama kerennya kayak kembaranmu."

Ucapan Feni memang benar. Hanya saja Zee tidak bisa terus berpikir akan ketertinggalannya. Ia takut apabila ia sungguh tidak bisa menyamai lagi langkah Christy.

Ia memang ingin Christy jadi lebih baik darinya. Itu tidak pernah berubah dalam do'anya. Tetapi bukan berarti pula artinya ia jadi lemah dan tidak bisa diharapkan. Zee tidak mau menjadi sesuatu yang paling ia benci, yaitu menjadi beban.

Zee mau jadi pelindung Christy di belakang, bukan yang dilindungi Christy.

"Setiap orang itu punya ciri khas masing-masing. Cara mereka berproses juga beda-beda. Kamu ga bisa jadiin Christy sebagai patokan." Feni mengambil sebelah tangan Zee dan menggenggamnya. "Sekarang kamu pun sedang berproses kok. Kapan terakhir kali kamu minum obat tidur?"

"Emm.." Zee memutarkan bola matanya ke atas, mengingat-ingat. "Ga tau Dok, udah lama soalnya."

"Tuh kan. Itu sebuah perkembangan pesat. Cuma dalam waktu kurang dari dua bulan kamu udah bisa lepas dari itu. Padahal dulu kamu sendiri yang bilang ga yakin bisa berhenti. Kamu seringkali ngerasa hancur."

"Tapi liat sekarang." Senyuman lembut menghiasi wajah wanita berambut pirang tersebut. "Kamu bertahan sampai sini, bahkan lebih kuat."

"Itu bukan prestasi. Emang seharusnya aku membaik. Yang normal justru ga kayak gini.."

"Zee, inget bahwa hidup di dunia ini ga akan mungkin luput dari yang namanya cobaan. Mau sesempurna apapun manusia, pasti ada aja kesulitan yang menghadangnya. Tapi kan, Tuhan ga pernah memberi ujian lebih dari kemampuan orang tersebut. Tuhan ngasih kamu cobaan ini artinya Tuhan tau kamu bisa ngelewatinnya."

"Emang iya, Dok? Aku ga yakin. Aku lemah, ga bisa diandalin dan ga banyak hal yang bisa dibanggain dari aku.."

"No no no.." Feni menggeleng lagi. "Kamu pantas dicintai, kamu pantas dibanggakan, kamu pantas menerima banyak hal baik di dunia ini. Kamu banyak memberi cinta kepada orang-orang, tapi tolong jangan lupa untuk menyayangi diri sendiri ya?"

Mata Zee memerah, mulai basah. Ia masih tertunduk, malu untuk mengadahkan wajah sedihnya.

Kenapa ya, sesusah itu untuk mencintai diri sendiri? Zee bisa dengan mudahnya melakukan apapun untuk orang, tetapi mengapa untuk sekedar menghargai dirinya sendiri begitu sulit?

Bertaut (ZoyToy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang