"HAH!"
Zee tersentak, tubuhnya reflek bangun duduk. Ia memperhatikan sekeliling dengan detail. Tidak ada yang berubah. Detail kamarnya masih sama.
Nafasnya tersengal. "Mimpi?" Gumamnya pelan, mengusap keringat di pelipis. AC kamarnya menyala, tapi entah mengapa hawanya panas, bahkan seluruh badannya berkeringat.
Tangan Zee menyentuh dada sebelah kiri, merasakan jantungnya yang berdegup kencang. Meskipun mimpi, rasanya nyata sekali. Seolah-olah.. Freya benar-benar datang kepadanya.
Gadis itu meremas kepala dengan kedua tangan. Bayangan kejadian hari itu masih menghantuinya. Rasanya seperti leher Zee dicekik saat ia mencoba melupakannya.
Frustasi, Zee meraih handphone di meja samping, membuka salah satu room chat yang beberapa hari ini selalu ia periksa, dengan harapan nomor itu akan membalasnya.
Namun sepertinya pagi ini tetap sama. Jangankan dibalas, terkirim pun tidak. Zee menggigit bibir cemas. Aran benar-benar tidak bisa dihubungi. Kata Mirza, laki-laki itu sudah tidak menunjukkan diri setelah pemakaman Freya. Tidak ada yang tahu bagaimana kabarnya, maupun dimana dia. Aran menghilang begitu saja bagaikan ditelan bumi.
Hal ini tentu membuat Zee semakin putus asa. Ia ingin bertemu Aran sesegera mungkin untuk meminta maaf. Setidaknya dengan begitu ia bisa lebih lega sedikit.
Ceklek!
Gracia datang membawa nampan berisi piring nasi. "Kak, Mama bawa sarapan nih."
"Oh? Iya, makasih, Ma."
"Kok mukanya pucet gitu? Kakak sakit?" Tanya Gracia mendekat ke kasur putrinya.
Zee menggeleng. "Engga, cuma mimpi buruk aja."
"Ooh yaudah, cepet makan ya. Biar ga lama siap-siapnya."
"Siap-siap?" Zee menaikkan alis.
"Iya, kita mau pergi ke alun-alun. Hari ini kan ulang tahun kota. Pasti banyak parade sama pertunjukkan di sana. Kakak ga mau liat?"
Tentu Zee ingin sekali menontonnya. Sejak dulu ia sangat suka melihat parade maupun pertunjukkan, apapun yang bersuasana meriah dan unik. Tapi ia juga sadar diri. Dengan keadaan kaki seperti ini, mana mungkin ia bisa pergi?
"Kakak mau.. tapi kan ga bisa pergi.." katanya dengan nada lesu, menunduk menatap kakinya yang diperban.
"Kata siapa ga bisa pergi?" Gracia menaikkan dagu anaknya. "Kan bisa pakai kursi roda."
"Tapi Kakak cuma bakal ngerepotin, Ma. Mending ga usah."
"Shut, selalu aja gitu ngomongnya," jari telunjuk Gracia menyentuh bibir Zee. "Coba pemikirannya diubah, jadi rasa syukur karena masih bisa jalan-jalan pakai kursi roda."
Pipi Zee dicubit gemas. "Mama ga akan capek ngingetin seberapa penting Kakak, seberapa hebat Kakak, seberapa besar sayangnya kita ke Kakak. Kakak ga pernah dan ga akan pernah ngerepotin. Oke?"
Zee akhirnya tersenyum juga, mengangguk paham. "Oke, Ma. Kakak juga sayang Mama, Papa, dan Adek."
Gracia mengelus kepala Zee, lalu mulai mengambil sendok untuk menyuapi sang buah hati. "Sekarang makan ya, abis itu Mama bantuin Kakak mandi."
***
Ketika keluarga Natio tiba di bagian tengah alun-alun kota, suasana begitu semarak. Lampu warna-warni menggantung di atas tali, juga bendera-bendera yang berkibar ditiup angin, ditambah dengan wangi semerbak dari berbagai stand jajanan di sepanjang jalan yang amat menggiurkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bertaut (ZoyToy)
Fanfiction𝙎𝙚𝙥𝙚𝙧𝙩𝙞 𝙙𝙚𝙩𝙖𝙠 𝙟𝙖𝙣𝙩𝙪𝙣𝙜 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙩𝙖𝙪𝙩, 𝙉𝙮𝙖𝙬𝙖𝙠𝙪 𝙣𝙮𝙖𝙡𝙖 𝙠𝙖𝙧'𝙣𝙖 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣𝙢𝙪 - 𝙉𝙖𝙙𝙞𝙣 𝘼𝙢𝙞𝙯𝙖𝙝 "Jadi lebih baik dari aku ya Toy?" - Azizi Asadel Natio "Kamu harus lebih bahagia dari aku, Zoy." - An...