part 29 (1)

6.8K 277 2
                                    

Aku menatap kosong taman belakang rumah orang tuaku. Dari atas sini semua kelihatan cantik dan tertata rapi. Well, aku bukan melihatnya dari balkon kamarku, tapi dari papan loncat di kolam renang. Ekstrem yah? Tapi menyenangkan.

Panas matahari sore ini menemaniku melamun disini dan lagu David guetta di telingaku walaupun sudah aku buat volume kecil tetap menghentak gendang telingaku membuat aku lebih tenang.

Tenang dari mana sih, rin? Kataku dalam hati. Aku tersenyum sinis. Tenang my ass!

Aku menghela napas kasar. Menggeleng cepat saat otakku sudah mulai merangkai kata-kata hujatan yang membuat telinga siapapun yang mendengarnya memerah. Emosiku bergejolak. Seketika aku membuat volume lebih besar supaya suara di kepalaku tidak terdengar. Tapi mustahil kan? Yang berteriak sekarang kan di dalam diriku mana mungkin ter-distract dengan lagu David guetta ini.

"rin..." sapa orang di belakangku. Tidak harus aku berbalik ke belakang, aku sudah tau siapa yang memanggilku. Aku diam saja, menganggap tidak ada yang memanggilku dan tetap fokus dengan lagu di telingaku. Papan loncat yang sedang ku duduki ini bergoyang sebentar membuat aku harus memegang pinggirannya agar aku tidak jatuh ke kolam.

"Irina..." panggilnya lagi. Tiba-tiba dia mencabut headset di telinga kananku, membuat aku dengan hati-hati membalikkan badanku ke belakang, menghadapnya.

"ada apa?" tanyaku ketus.

"kamu belum makan." katanya. Aku sedikit kaget melihat di tangannya ada mangkuk nasi dan beberapa lauk, dia pasti kesusahan naik tangga papan loncat ini dengan mangkuk itu di tangannya. "aku suapin ya?" katanya lagi. Aku tidak mengangguk ataupun menggeleng, karena kalau pun aku mau kabur satu-satunya jalan keluar ya tangga yang ada di belakangnya. Aku juga malas kalau harus nyebur ke kolam di bawahku, jadi dengan pasrah aku membuka mulutku saat dia menyuapkan makanan.

"udah, dim." kataku karena aku sudah mulai kenyang. Dimas mengangguk dan meletakkan mangkuk itu di belakang tubuhnya. Dimas juga ikut mendengarkan lagu melalui headset yang tadi di copot dari telingaku. Kami diam. Tidak ada yang keluar dari mulut kami berdua, seolah menikmati momen berdua saat ini. Tapi yang aku tau, kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

Sangat sibuk. Sampai kami berdua tidak sadar kalau matahari yang di hadapanku sekarang tenggelam menimbulkan warna jingga yang cerah. Seharusnya aku menyukai warna ini, sunset ini, lagu ini, udara ini. Tapi Tuhan tau kalau aku sangat tersiksa sekarang. Tersiksa karena keadaan sekarang yang membuatku harus terjebak dengan orang yang ada di hadapanku kini.

Dimas menyentuh perban yang melingkar di kepalaku, lembut seolah tidak mau melukainya sedikitpun. Luka ini, luka di kepalaku ini, mengingatkanku akan rasa bersalah yang tidak akan berkurang ataupun hilang sepanjang hidupku.

"nanti aku bantu ganti perbannya ya?" tanya dimas.

Terserah saja. Ucapku sinis dalam hati.

Melihat aku diam saja begini, dimas pasti mengira kalau aku setuju. Dan kemudian dia tersenyum kecil. Senyum itu malah membuat aku marah.

"ga usah senyum-senyum begitu." mendengar kata-kataku yang tajam senyum itu memudar.

"rin, haruskah kamu ketus gitu dengan suami kamu sendiri?" aku memalingkan wajahku, memandang lapangan tenis di bawah. Aku lupa fakta itu. Hhhh. Emosi menguasaiku lagi. Dengan cepat aku mengendalikannya, bagaimana pun aku sedang hamil dan tidak baik kalau aku meledak-ledak begini. "yuk kita turun, udah malem."

Dimas berdiri perlahan, dengan hati-hati dia menuruni tangga dan memegang mangkuk bekas aku makan tadi. Aku pun mengikutinya dari belakang. Sampai dibawah, dimas membantuku turun dengan mengulurkan tangannya yang kosong. Aku tidak menyambut tangan yang terulur itu dan saat aku sudah sampai bawah, aku berjalan duluan di depannya. Aku dapat mendengar helaan napasnya karena sikapku. Dimas mengejarku dan menggenggam tanganku, memasukkan jarinya ke sela-sela jariku. Posesif seperti biasa. Aku yang sudah tidak mood untuk yang protes membuat aku diam saja di tarik kesana kemari oleh dimas.

My Crazy StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang