"Aliiiin, coba bangunin Ian itu dulu, dia mau sekolah ga sih?" aku berteriak dari dapur supaya Darina, atau Alin mendengarku. Ini sudah hampir jam setengah 7 tapi Ian ga ada tanda-tanda mau bangun. Aku masih bisa mendengar Alin berteriak membangunkan kembarannya, yang harus aku akui kalau mau membangunkannya butuh tenaga yang sangat ekstra, dulu pernah Alin membangunkan Ian dengan cara menyiram Ian dengan satu buah ember, apakah Ian langsung bangun? Enggak sama sekali, dia malah bangun setengah jam kemudian dan protes kenapa tubuhnya bisa basah kuyup saat tidur.
"bun, Alin nyerah. Nyerah! Manusia satu itu kalo dibangunin ga bangun bangun, persis kayak orang mati." Alin duduk di kursi makan sambil ngedumel tentang adiknya. Alin sudah rapi, siap untuk berangkat sekolah. Oh iya, sekarang umur mereka sudah 9 tahun, Alin kelas 3 SD, sedangkan Ian sudah kelas 4 SD, karena kepintarannya Ian masuk kelas akselerasi, tapi bukannya alin tidak pintar seperti ian, mereka sama pintarnya, tetapi pada saat akan pemilihan untuk masuk kelas akselerasi Alin demam tinggi, sehingga nilainya tidak memuaskan, mengharuskan Alin masuk ke kelas reguler.
"hus! Omongannya, lin. Kalau di denger ayah kamu, dia bisa marah loh."
"maaf bunda."
"sekarang kamu makan sarapan kamu, biar bunda ngebangunin Ian." aku meletakkan satu piring nasi goreng ayam kesukaan Alin dan satu lagi buat Ian. Tapi khusus punya Ian ditambah dua buah sosis, dan untuk Alin yang agak susah disuruh makan aku membuatnya lebih lucu, seperti menambahkan sosis sebagai mata, suwiran ayam sebagai mulut, tomat untuk rambut, dan lain-lain.
Setelah aku menceramahi Alin supaya menghabiskan nasi gorengnya, Aku menaiki tangga ke lantai dua, ke kamar Ian, tapi akhir-akhir ini aku rada susah untuk menaiki tangga, suka encok, mungkin faktor umur, hampir kepala 4, tapi aku tidak merasa setua itu, apa mungkin aku kurang asupan kalsium ya? Sambil Aku memikiran makanan apa yang bisa aku masak yang memenuhi asupan kalsiumku, ternyata aku sudah sampai di kamar Ian, Aku membuka pintunya, kosong, tidak ada siapa siapa.
"cari siapa, rin?" aku terkejut dan melompat kecil, masuk ke kamar Ian.
"dim, bisa ga sih kamu ini ga ngagetin aku, sehari aja?"
"kamunya aja yang kagetan. Aku udah daritadi di sini." dimas hanya terkekeh aku aniaya dengan memukul lengan atasnya.
"dimana?"
"di kamar Alin."
"ngapain kamu di kamar Alin?" di lantai dua sebenernya hanya kamar Ian dan Alin, dulu kamar aku dan dimas juga di lantai dua, tetapi setelah anak-anak sudah bisa tidur sendiri aku memutuskan untuk pindah kamar, di lantai bawah, dengan alasan lelah untuk naik-turun tangganya. Jadi bekas kamar aku dan dimas dijadikan perpustakaan, dan mushola.
"pipis di kamar mandinya Alin." jelas dimas. Aku hanya ber-ooh ria dan mencari keberadaan Ian. "Ian lagi mandi." kata dimas, menyadari kebingunganku. "tadi pas Alin nyerah bangunin Ian, aku langsung ke sini."
"dia langsung bangun pas kamu bangunin?" dimas mengangguk dan tersenyum bangga. Well, mungkin Ian hanya susah dibangunkn kalau aku dan Alin yang bangunin, kalau dimas yang membangunkannya cukup bilang 'nak, bangun' Ian dengan ajaibnya membuka mata dan masuk ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Ajaib bener memang.
"aku belum nyium kamu kayaknya hari ini." kata dimas, otomatis membuat aku merona dan tersenyum malu. Menikah dengan dimas sudah 9 tahun lebih tapi masih belum kebal dengan hal-hal manis yang dia lakukan kepadaku. Perkataannya barusan aja sudah cukup aku merasa kayak anak remaja baru ditembak pacar. Dimas seakan paham atas kodeku, maju beberapa langkah, mencondongkan diri kepadaku. "love you, rin." katanya setiap akan menciumku, aku diam saja menunggu dimas.
"Hiaaat! Ayah bunda kalo mau mesum jangan di depan kamar aku!" sontak aku dan dimas menjauhkan diri masing-masing, walaupun dimas belum menciumku sama sekali. Aku lupa kalau masih ada anak-anak di rumah, karena itu aku sepakat kalau aku dan dimas tidak boleh berbuat yang aneh-aneh di rumah kalau masih ada mereka, sekalipun di kamar, well, kalau mereka sudah tidur beda ceritanya, hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Crazy Student
RomanceSeumur umur aku menjadi guru, aku tidak pernah mendapat murid segila Dimas, cucu dari pemilik yayasan tempat aku bekerja. Dimas tidak pernah berhenti menghina aku sebagai guru yang tidak kompeten, tidak menguasai materi, dll. Padahal kan dia masih k...