Aku membuka mataku, tetapi aku merasa aku tidak bisa berguling-guling seperti biasa kalau aku baru bangun tidur, ada tangan yang melingkar di atas dadaku, kepalanya menempel erat di leherku, dan kakinya membelit kakiku. Dimas benar-benar menjadikanku guling hidup.
"dimaaaas." panggilku dengan suara khas bangun tidur.
"kenapa, sayang?" malangnya jantungku harus berdegup cepat pagi-pagi begini.
"bangun, aku pegel nih, kamu dekap aku begini terus." bukannya melepaskan tangan dan kakinya, dia malah merapatkan tubuhnya denganku. "dimaaaas." rengekku. Aku mendengar dimas tertawa kecil akhirnya melepaskan 'gulingnya'
"good morning." katanya dengan suara serak, mencium keningku. "good morning jagoan, ayah." katanya lagi, tetapi sekarang mengucapkannya sambil mencium perutku.
"aku mau ke kamar mandi, dim. Lepasin aku." ternyata dimas belum benar-benar melepaskanku, karena tangannya secara tidak aku sadari menggenggam tanganku.
"kamu ini ga biarin aku seneng dikit loh rin."
"siapa suruh kamu tidur di ranjang aku?"
"lah bukannya kamu yang ga biarin aku pergi? Kamu malah meluk meluk aku sampe aku ga bisa napas." wajahku memanas.
"eh aku enggak..." ucapan pembelaanku terhenti karena dimas mencium bibirku singkat. Aku syok, dan mangap ga elegan sama sekali. Saat aku menutup mulutku, dimas menciumku lagi. Aku tidak membalas tetapi tidak mencoba menjauhkan dimas dariku. Setelah beberapa lama, dimas menarik diri sambil tersenyum. Senyum heart attack itu!
"kamu ga mau sarapan? Kalau aku sih udah dapat 'sarapan' aku." wajahku memanas lagi.
"awaaaas." aku menendang perutnya dan dimas pun jatuh ke lantai dengan posisi yang enggak banget. Mau tidak mau aku tertawa ngakak melihat dimas nungging ga jelas begitu. Dimas cemberut parah karenanya.
"kamu ga asik ah." dia masuk ke kamar mandi sambil mengusap kedua lututnya yang menghantam marmer.
"sakit ya?"
"..."
"dim, sakit ya? Maaf..."
"..."
"dih ngambek, yaudah lah." aku bangun dan berjalan keluar kamar.
"kok kamu jadi yang ngambek?"
"..."
"rin, jangan ngambek dooong."
"bodo!" aku berjalan lebih cepat menuruni tangga. Aku menghampiri ibu yang sedang mengoleskan selai stoberi ke rotinya.
"kalian kenapa pagi-pagi begini udah cemberut begitu?"
"tau tuh dimas nyebelin."
"irina nyebelin, bu." kata kami berbarengan. Ibu menggelengkan kepalanya heran dengan kami berdua, apa tadi aku bilang kami? Mungkin ada baiknya aku harus mulai terbiasa dengan kata 'kami'.
Akhirnya aku sadar... tidak semua orang punya suami sebaik dimas. Yang selalu ada waktu buat aku. Yang selalu sayang sama aku. Walaupun aku masih belum bisa menerima kejadian yang telah lalu, seenggaknya aku menerima keberadaan dimas, toh dia juga suamiku. Kata andrew, membuka hatiku untuk dimas lagi.
"aku nyebelin kata kamu?" kataku pura-pura tersinggung. Menyadari nadaku yang berubah dimas menatapku panik.
"bukan yang nyebelin begitu maksud aku, rin."
"iya iya aku nyebelin. Mending kamu pergi dari aku kalau aku nyebelin."
"yaaaah rin, bukan itu maksud aku." aku diam. Sekuat tenaga aku menahan rasa ingin tertawa kencang melihat muka dimas yang memelas begini. "maaf yaaa, kamu ga nyebelin kok. Kamu cantik." gombalannya yang ga nyambung membuat aku tertawa. "seneng ya kamu buat aku panik begitu." aku masih tertawa saat dimas berdiri dari kursi makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Crazy Student
RomantikSeumur umur aku menjadi guru, aku tidak pernah mendapat murid segila Dimas, cucu dari pemilik yayasan tempat aku bekerja. Dimas tidak pernah berhenti menghina aku sebagai guru yang tidak kompeten, tidak menguasai materi, dll. Padahal kan dia masih k...