part 35

7.6K 334 14
                                        

Apa aku egois?

Tapi aku melihat dimas dan calysta dua minggu yang lalu di ruang tamu rumahku bikin aku sakit hati. Aku kecewa. Enggak saat aku mulai sayang dengan dimas. Aku baru sadar perasaanku ini, jauh sebelum ada liebe, jauh sebelum pernikahan ini dilakukan, mungkin saat dimas masih SMA dulu. Bodoh aku baru sadar sekarang, tapi kenapa mesti calysta lagi sih? Kalau misalnya aku menemukan mereka di posisi yang wajar, ga pake peluk peluk dan ancang ancang mencium, mungkin aku tidak sesakit hati ini. Waktu itu farel yang aku tangkap basah di dapur, sekarang dimas di ruang tamu, apa perlu aku jual rumahku? Sepertinya rumah itu jadi sarang perselingkuhan.

Apa aku benci dimas?

Bisa dibilang, enggak. Aku sudah janji pada diriku sendiri untuk tidak membenci orang lain lagi, membenci orang hanya membuat hidup aku ga tenang dan bikin aku punya alasan yang kuat untuk membenci diriku sendiri kenapa bisa terlibat dengannya. Aku ga mau membenci siapapun lagi, termasuk diriku sendiri. Tapi sesak di dadaku tidak berkurang walaupun dimas sudah menjelaskan ngapain si cal ini ke rumah kami. Calysta datang sebenernya ingin meminta maaf atas kelakuannya dulu, tapi masih ga masuk di akal kenapa mereka peluk pelukan begitu.

Oke oke, kayaknya aku harus mengakui itu. Aku cemburu. Aku ga suka apa yang jadi milikku diganggu gugat dengan orang lain. Well, siapapun ga mau miliknya di ganggu orang lain.

Aku menutup kedua mataku dan menghela napas. Mencoba menekan rasa kesal saat dimas masuk ke dalam kamar inapku dengan jas kerjanya. Dimas tidak menuruti perkataanku untuk tetap di rumah, atau ke rumah sakit menemani aku di sini, dia malah pergi kerja walaupun dia baru sembuh dari malaria.

"hei, udah makan?" tanya dimas. Aku membuka mataku, dimas sudah duduk di samping ranjangku, dan melonggarkan dasi merah marunnya.

"belum. Makanannya belum di anter."

"bentar aku minta dulu ke mereka." aku mengangguk. Selama dua minggu ini juga dimas tidak menyinggung soal perceraian yang waktu itu aku ajukan kepadanya, dimas tentu menolak dengan keras saat itu. Tapi aku mulai menyadari dimas lebih diam dari biasanya. Tidak ada keisengan yang sering dia lakukan kepadaku. Hmmm, aku mulai kangen sifat nyebelinnya.

Tak lama dimas masuk lagi membawa nampan makanan, meletakkan di nakas samping ranjangku, dan membuka satu persatu plastik wrap yang ada di atas wadah makananku.

"dim, kamu udah makan siang belum? Sekarang kan jam makan siang." aku menyentuh wajahnya yang sedikit pucat. Apa dia belum makan? Dimas menghentikan tangannya di udara dengan sendok penuh makanan yang akan disuapkan kepadaku.

"ga usah mikirin aku, rin. Aku gapapa." dimas memajukan sendok ke depan mulutku, tapi aku mengelak.

"kamu belum makan." ujarku. Lebih ke pernyataan bukan pertanyaan yang tadi kutanyakan pada dimas. Dimas malah tersenyum kecil, menyuapiku lagi, tapi aku tetap mengelak. "kamu harus makan, kamu baru sembuh dari sakit."

"it's okay. Sekarang kan aku udah sembuh. Buka mulut kamu."

"aku ga mau makan kalo kamu belum makan." dimas menatapku tajam. Dia memang ga suka kalau aku ga mau makan atau makanku sedikit, dia akan memarahiku dan memintaku agar aku menghabiskan makanan yang ada.

"oke." katanya. Eh oke apa tapi? Dimas meletakkan sendok dan menutup lagi makananku dengan plastik warp yang sudah dia lepas. Lalu dia keluar. Mungkin dia ke kantin, untuk makan siang, tumben dimas mengalah sebelum berhasil membujukku makan.

Aku... aku bingung. Sakit hati dan rasa kecewaku lebih besar dari rasa sayangku kepada dimas. Seharusnya aku juga harus mempertimbangkan bagaimana liebe nanti kalau aku akhirnya bercerai dengan dimas, tentu aku tidak keberatan dengan status single parent, tapi apakah mereka nanti akan kehilangan sosok ayah gara-gara kebodohan dan keegoisanku? Tentu saja. Pertanyaan macam apa itu.

My Crazy StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang