part 36

12.2K 348 7
                                    

Aku menangis, aku telah mencoba menghentikannya, tapi yang ada tangisku malah bertambah deras.

"jadi kamu maunya gimana, rin?"

"ya aku ga mau cerai, kaaaak!"

"yaudah kalo gitu kamu bilang sama dimas. Kamu sama dia ga bisa begini terus." Aku dan dia memang ga bisa begini terus, tapi dimas sudah terlanjur benci kepadaku. "rin, kamu dengar kakak kan? Kalian ga bisa begini terus."

"tapi, dimas udah benci sama aku, kak! Dia ga mau dengerin aku lagi." kak leon terdiam. Aku tetap membiarkan air mataku mengalir.

"jadi mau kamu gimana, rin?" tanya kak leon sekali lagi.

"aku ga mau cerai, kak."

"kamu sayang dia?"

"iya, aku sayang dia."

"kalau begitu perbaiki hubungan kalian, sebelum terlambat. Kakak yakin dimas juga hanya emosi sesaat."

"gimana kalau dia ga mau dengerin aku?"

"kamu ga usah pesimis gitu dong, kalau ga di coba kan kamu ga bakal tau hasilnya apa."

"okeee." aku mengusap air mataku dan mencoba tersenyum. Semoga saja dimas memang hanya emosi sesaat seperti kata kak leon.

"akhirnyaaa. Kakak kesini mau jengukin keponakan kakak, malah jadi konsultan cinta kalian gini."

"makanya kaaak, cari istri."

"udah deh jangan mulai, kamu ngomong kayak gitu udah kayak ibu tau ga sih?" yaa jangan salahkan aku lah, siapa suruh umur udah kepala tiga tapi masih lajang, ibu yang pasti sudah merongrong kak leon supaya cepat cari istri.

"kak?"

"hmm?"

"kami bakal baik-baik aja kan?"

"kalian bakal baik-baik aja kok."

...

"mas Deo, bapaknya ada?" tanyaku pada sekretaris dimas di kantor.

"oh, bu. Bapak lagi ada di Tokyo, baru aja berangkat. Di sana mungkin untuk seminggu. Ada apa, bu? Mau saya hubungi?"

"ga usah, mas. Saya ke sini cuma mau ngasih ini." aku menunjukkan sepucuk amplop warna coklat kepada Deo. Sepucuk amplop permintaan maafku pada dimas. Kenapa ngamplop? Aku terlalu takut mendengar dimas membentakku lagi, takut kalau dia ga mau mendengarkan penjelasanku. Aku juga terlalu takut kalau dimas malah meminta surat cerai dan mempercepat proses perceraian kami. Kenapa ga telpon atau sms atau email? Aku juga takut, ketika dimas melihat namaku sebagai penelpon atau pengirim sms atau email itu malah diabaikannya. Semua ketakutanku membuat aku menulis surat permintaan maaf ini.

"mau saya letakkan di meja pak dimas?"

"boleh saya saja yang meletakkannya mas deo?"

"boleh, bu. Silakan." aku masuk ke ruang kerja dimas, yang di dominasi warna abu-abu dan putih. Saat masuk aku disajikan pemandangan kota dari jendela, Meja kerja dimas terletak di sebelah kanan ruangan. Sebelah kiri ruangan terdapat perpustakaan kecil dan tempat menerima tamu. Simple, kayak orang yang punya ruangan ini. Well, baru kali ini aku masuk sini sih sebenernya.

Aku berjalan menuju meja kerja dimas. Walaupun banyak file laporan kantor, mejanya tetap rapi. Ada papan nama dimas dan jabatannya, kemudian tempat pena, laptop, dan bingkai foto yang di telungkupkan. Karena aku penasaran, aku menegakkan bingkai foto itu. Foto yang dulu pernah aku temui di dashboard mobil dimas. Dalam Foto itu aku tersenyum ke kamera dan dimas hanya melihat ke arahku, tatapan dia yang dulu. Maksudnya apa ya foto ini ditelungkupkan? Apa dimas sudah benar-benar muak terhadapku? Duuuh, harusnya aku tidak terlalu banyak berfikir macem-macem, jadinya aku langsung menaruh amplop yang ada di tanganku ke atas meja, pas di tengah. Supaya ketika dimas pulang dari Tokyo, dia langsung menyadari adanya surat dariku.

My Crazy StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang